Rabu, 24 September 2014

TUBAN, PERAN DAN SUMBANGSIHNYA BAGI SEJARAH BANJAR(MASIN)



"............................................. mungkin kedua mempelai itu serumpun, karena nenek (moyang) mereka zaman bahari ikut serta berangkat dengan satu ekspedisi ke Banjar untuk membantu mendirikan kerajaan Islam disana; yang kembali ke Tuban sudah beristeri(kan) orang Banjar".

Penggalan kalimat di atas pernah disampaikan orang-orang tua atau tokoh masyarakat di Tuban-Jawa Timur pada kisaran tahun 1940-an yang lalu.




.............................................. bersambung 

Senin, 15 September 2014

PULAU TATAS, WILAYAH KERAJAAN BANJARMASIN YANG (PERTAMA KALI) DI-ANEKSASI VOC BELANDA




Gerbang Benteng Tatas di tahun 1924 saat dikunjungi Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dirk Fock. Perhatikan tulisan angka 1606 yang ada di tengah-tengah puncak gerbang Fort van Tatas, sudah sejak tahun itulah VOC Belanda menjejakkan kakinya di Negeri Banjar.




Tatas, adalah nama suatu wilayah milik Kesultanan Banjarmasin yang terletak di Pulau Tatas,  sebuah delta yang seiring perubahan waktu menjelma menjadi sebuah pulau kecil. Letaknya di persimpangan, antara Sungai Martapura (atau Sungai Cina) dengan Sungai Antasan (atau Sungai Kween). Secara geografis, letaknya boleh dikatakan sangat strategis, karena terletak di persimpangan; bila ke barat maka akan memasuki wilayah tradisional Kerajaan Banjar awal di Kween, sedangkan bila terus ke arah timur akan menuju Martapura dan daerah Hulu Sungai

Karena letaknya yang sangat strategis itulah, armada-armada dagang milik bangsa-bangsa Erofa  [Portugis, Inggris, Belanda], Cina, Melayu, Bugis, Jawa, acap kali melabuhkan jangkarnya di bandar Tatas. Apalagi ketika komoditas utama Kerajaan Banjarmasin -lada- mampu membius dan mengundang keinginan bangsa-bangsa barat yang sangat bernafsu untuk menguasai dan menetap di wilayah ini pada kisaran Abad ke-17.  Di awal kedatangannya di wilayah Kerajaan Banjarmasin pada tahun 1606, armada dagang VOC Belanda sama sekali belum melirik Tatas. Mereka justru berlabuh di perairan Sungai Barito, yang berdekatan dengan muara Sungai Kween, tidak jauh dari kediaman Sultan Banjar. Oleh Gillies Michelzoon yang memimpin armada dagang itu, dilakukan audience sekaligus meminta izin melakukan aktivitas dagang kepada Panembahan. Begitu pun di kedatangannya yang kedua kali pada tahun 1612, armada perahu VOC Belanda belum mau melirik wilayah Tatas.

Silih berganti delta Tatas beralih kepemilikan. Yang semula adalah merupakan bagian dari wilayah tradisionil Kerajaan Banjarmasin, kemudian beralih kepemilikan lagi sebagai imbas dari ditanda-tanginya kontrak/perjanjian sewa menyewa ditahun 1747 antara Sultan Banjarmasin dengan VOC Belanda.

Oleh VOC Belanda kemudian di atas pulau Tatas didirikan perkantoran atau loji [bahasa Belanda; lodge] dagang, sekaligus sebagai tempat/wadah/gudang penumpukan barang-barang komoditas yang mereka beli dari pedagang-pedagang Banjar maupun pedagang-pedagang bangsa lain yang berniaga di sekitaran bandar Tatas. Sembilan tahun setelahnya, tepatnya pada tahun 1756, VOC Belanda memutuskan mendirikan benteng [berbahan kayu] di atas pulau delta itu.

Seiring perjalanan waktu, kedudukan Fort van Tatas berubah menjadi sangat penting sesudah tahun 1787, dan kemungkinan juga dari segi material bahan bangunan juga berubah. Dari yang semula hanya berbahan dasar kayu, kemudian berubah atau bertambah dengan memakai bahan-bahan non kayu. Hal ini sesuai dengan keterangan Bambang Sakti -Kepala Balai Arkeologi Kalimantan Selatan- yang melakukan peninjauan lapangan di lokasi penemuan meriam kuno yang ditemukan saat penggalian tanah untuk fondasi proyek peninggian Jalan Jenderal Sudirman, di depan Masjid Raya Sabilal Muhtadin-Banjarmasin, yang kuat dugaan berasal dari peninggalan Benteng Tatas [Fort van Tatas].

Menurut Kepala BALAR Kalimantan Selatan yang melakukan peninjauan di lokasi penemuan meriam kuno -Selasa tanggal 9 Agustus 2016- ditemukan juga tumpukan atau susunan [batu] bata yang diperkirakan [berasal dari] bangunan megah fort van Tatas. "Dari [bentuk dan] ukurannya batu bata ini merupakan sisa-sisa dari Benteng Tatas milik pemerintah kolonial Belada pada Abad ke-18', ujarnya.

Hal ini, imbuh Bambang Sakti lagi, didasarkan pada [ciri-ciri] warna bata-bata tersebut yang lebih [berwarna] merah, dan bentuknya [yang] lebih besar [daripada ukuran batu bata-batu bata yang umum dipakai sekarang di Banjarmasin]. "Batu bata ini sangat mirip dengan [batu bata yang berasal dari] sisa bangunan Benteng Tabanio, yang juga merupakan benteng pertahanan kolonial Belanda kala itu".

    

Peta wilayah Pulau Tatas tahun 1882, dimana Fort van Tatas terletak pada posisi yang sangat strategis; menjadi satu kesatuan dengan kediaman Resident di Kampung Amerongan, wilayah elit orang-orang Erofa waktu itu. Pada gambar di atas, awalnya wilayah yang dikuasai VOC Belanda adalah bagian sebelah barat, membentang dari selatan ke utara, di batasi Antasan Kween. [Sumber foto: Drs. Idwar Saleh].



Perairan di sekitar Pulau Tatas pada tahun 1880, di sebelah kanan. Sedangkan yang di sebelah kiri adalah wilayah perkampungan orang-orang Cina. (Sumber foto: KITLV Digital Media Library, dari karya fhotografer Woodbury & Page).

Di sebelah kiri adalah daratan wilayah Pulau Tatas, yang oleh VOC Belanda kemudian didirikan benteng pertahanan dan diberi nama Fort van Tatas.




bersambung ...................................................................................


Senin, 04 Agustus 2014

Rabu, 16 Juli 2014

ENTJIK MUHAMMAD NUNGTJIK, LEGENDA HIDUP ORANG BANJAR DI TULUNG AGUNG

Entjik Muhammad Nungtjik bin Entjik Muhammad Abdul Kadir, Urang Banjar yang lahir dan besar di Kampung Ampel-Surabaya.


Sabtu, 5 Juli 2014 - Jl. Nyamplungan, Kawasan Ampel-Surabaya

Pukul 14.17 WIB.
Pada mulanya saya tidak terlalu peduli dengan sosok lelaki berperawakan kurus dan bertubuh kecil yang dikepalanya bertengger peci hitam yang agak sedikit kusam itu. Roman wajahnya -menurut saya waktu itu- agak "mambari maras". Ditambah lagi ketika dia berbicara dengan "seorang rekannya" menggunakan bahasa masyarakat setempat yang sangat kental logat Jawa Timur-nya, yaitu seorang lelaki yang lebih muda dan berkulit agak bersih (baru kemudian saya ketahui, kedua sosok lelaki ini mempunyai kaitan kekeluargaan yang sangat dekat ternyata, mertua dengan menantu) makin menambah ketidak-pedulian saya terhadap mereka. Apatah lagi, beberapa 'masalah perniagaan' sedang harus saya atasi saat itu.

Pukul 15.48 WIB.
Saat rehat di ruang depan, di lantai 2 sebuah rumah penginapan di kawasan Ampel (Jl. Nyamplungan) pada awal Ramadhan 1435 Hijriyah, saya disapa seorang lelaki muda berkulit bersih dengan bahasa yang tak asing, dan sangat akrab di indera pendengaran saya, bahasa Banjar. Lelaki itu menyapa saya sambil terus saja melangkahkan kakinya menuruni anak tangga yang menuju lantai dasar penginapan yang letaknya tidak seberapa jauh dari kawasan Masjid Ampel-Surabaya.

Didepannya -lebih dahulu bergegas menuruni anak tangga- berjalan seorang lelaki berperawakan agak kecil, berpeci hitam dan memakai baju takwa putih lengan pendek. Mereka terus saja berjalan sambil sesekali berceloteh dalam bahasa Jawa yang sangat kental. Peristiwa di atas selanjutnya tidak terlalu saya perdulikan, dan saya anggap kejadian biasa-biasa saja.

Pukul 17.10 WIB
Sampai pada suatu kejadian ketika saya berada di atas balkon penginapan yang letaknya persis berseberangan --hanya dibatasi oleh anak sungai kecil, cabang dari (Sungai) Kalimas-- dengan Hotel Kalimantan dan Hotel Gadjahmada di Jalan Pegirian. Saya berdiri cukup lama   ....................................


bersambung .....................................................

Jumat, 14 Maret 2014

Selasa, 11 Februari 2014

Selasa, 04 Februari 2014

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Top WordPress Themes