Jumat, 09 Desember 2011

SULTAN MUHAMMAD SEMAN, KONTROVERSI SEKITAR KEMATIANNYA

















Hari ini, tanggal 25 Januari, seratus delapan tahun yang lalu,
Sultan Muhammad Seman bin Raden Inu kertapati (Pangeran Antasari atau Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin) gugur ..........................................................................................,
'Raja Air Barito' *1) itu, diusianya yang telah mendekati tujuh puluh tahun, tersungkur ditembus peluru. Beliau tak sanggup meneruskan perjuangan untuk membebaskan negerinya. Bobol sudah  'benteng pertahanan terakhir'  Pemerintahan Pegustian itu.

Selama empat puluh lima tahun perjuangan yang kebanyakan suram, beliau merupakan jiwa perlawanan rakyatnya dalam 'menentang'  kehampaan harapan  melawan tentara pemerintah  kolonial Hindia Belanda,  tentara berperlengkapan senjata api modern untuk ukuran zaman itu. Sedangkan pihak Sultan Muhammad Seman sendiri dengan anggota-anggota pasukannya yang terdiri dari orang-orang Banjar Hulu Sungai, Bakumpai, Dayak (dari bermacam anak suku yang ada di Kalimantan*2), Pasir, Kutai, Melayu Kalimanatan Barat, dan beberapa pejuang Aceh yang turut bergabung serta jatuh simpati pada keteguhan hati bangsawan Banjar itu, semuanya dalam kondisi kekurangan bahan makanan serta amunisi. Dan, satu hal lagi  ...........................  menghadapi musuh dalam bentuk lain yang turut menunggu kesempatan untuk mengincar mereka  .................. wabah penyakit cacar dan kolera yang mematikan.

Kekurangan amunisi?  Ya !!!  Bila ditarik ke belakang, jauh sebelum peristiwa pembantaian di Kalang Barah, menantu sekaligus kemenakan Sultan Muhammad Seman yang bernama Gusti Muhammad Arsyad dipaksa menyerah. Upaya ini dibarengi dengan penyerahan persenjataan yang dimiliki anggota pasukan yang jumlahnya mencapai ratusan pucuk senjata api ditambah senjata tradisional yang dimiliki para anggota pasukan Gusti Muhammad Arsyad lainnya. Sedangkan senjata-senjata tambahan dari luar asal selundupan para pedagang di pasar gelap tak pernah mampu menembus blokade Belanda yang begitu ketat mereka terapkan.

Dan jauh ke belakang lagi, 1885, di tahun itu Sultan Muhammad Seman sempat menulis dan  berkirim surat kepada penguasa Sarawak British,  yang ternyata tidak pernah mendapatkan tanggapan sama sekali. Isi surat tersebut menginformasikan tentang kondisi rakyat di pedalaman Borneo dan dinasti terakhir Kerajaan Banjar yang sedang menghadapi agresivitas gerakan perluasan wilayah yang dilakukan pemerintahan Hindia Belanda di Borneo. 

Lengkaplah sudah, mereka benar-benar berada dalam pertaruhan antara hidup dan mati. Kenyataan ..........., Sultan Muhammad  Seman gugur. Innalillahi wa inna ilaihirojiun ...........................



Kematian Yang Kontroversial

Menyebut nama Sultan Muhammad Seman, dan perihal sekitar gugurnya beliau di medan perang Banjar yang berkecamuk di pedalaman belantara Kalimantan, rasanya tidak akan lengkap bila tidak menyiinggung sama sekali nama pasukan 'marsose' *4) Belanda.  Dalam beberapa tulisan, baik berupa buku maupun artikel-artikel di media cetak seperti surat kabar, ada beberapa tulisan yang membahas mengenai pertempuran mempertahankan keberadaan 'kraton' Banjar terakhir  oleh para zuriat Pagustian tersebut.

Ide untuk menulis tentang/perihal kematian pemimpin Pemerintahan Pagustian di pedalaman belantara Kalimantan, muncul ketika mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh Kesultanan Banjar bekerjasama dengan IAIN Atasari Banjarmasin pada tanggal .............  Di situ Penulis bersua dengan Ir.H.M.Said, bekas pejabat gubernur KDH Tk. I  Kalimantan Selatan, walaupun tidak terlibat pembicaraan secara mendalam dengan beliau karena masih dalam suasana seminar, saya langsung teringat dengan salah satu tulisan Ir.H.M.Said dalam surat kabar harian Banjarmasin Post *4) yang menyinggung sedikit tentang peristiwa gugurnya Sultan Muhammad Seman dalam suatu pertempuran atau kontak senjata dengan musuh-musuhnya di sekitar benteng pertahanan Kalang Barah (propinsi Kalimantan Tengah sekarang).

Isi tulisan beliau relatif baru dan sedikit berbeda dari tulisan beberapa sejarawan Banjar yang rata-rata menyebutkan sangat berperannya anggota pasukan kiriman dari kancah Perang Aceh, yaitu pasukan marsose Belanda yang dikepalai Letnan Christoffel.

Di dalam artikelnya, Ir. H.M. Said menulis: " Kemudian pada 25 Januari 1905 Belanda dengan kekuatan besar dibantu oleh Tumenggung Silam dengan 300 anak buahnya mengepung benteng Kalang Barah.  Sultan diminta menyerah, namun Sultan berteriak  "haram manyarah !!!"  Setelah berteriak dia mendapat tembakan dari anak buah Tumenggung Silam dengan peluru 'pitonang'  kemudian meninggal ".

Tulisan yang hampir sama saya temukan dalam sebuah artikel di surat kabar harian Banjarmasin Post bertanggal 9 Maret 1987 dengan judul  'Ratu Zaleha, Penerus Perlawanan Pangeran Antasari Terhadap Belanda Di Kalimantan Selatan'  yang ditulis oleh Drs. Yustan Aziddin, Pada alinea ke-9 Yustan Aziddin menulis :  .......................Pada tanggal 1 Januari 1905, dalam perlawanan di Bamban, Kalang Barat, Baras Kuning, Sultan Muhammad Seman gugur, dikhianati oleh Tumenggung Silam. Beliau ditembak dengan peluru emas, sebab kalau tidak demikian beliau tidak akan terluka dengan peluru biasa.

Baik tulisan Ir.H.M. Said maupun artikel yang ditulis oleh Drs. Yustan Aziddin sama sekali tidak pernah menyebutkan sepak terjang dan keberadaan serdadu-serdadu pasukan marsose. Dalam tulisan itu hanya disebutkan kata 'Belanda',  tanpa embel-embel 'marsose' sedikitpun.  Sangat menarik memang, karena hal sebaliknya justru dalam tulisannya mereka menyebutkan keterlibatan pasukan lokal 'Dayak'  yang dipimpin oleh seorang pemuka atau panglima perang suku Dayak yang [ternyata] pada masa-masa sebelumnya pernah bergabung atau menjadi sekutu dengan Pemerintahan Pegustian dalam beberapa kali kontak senjata dengan pasukan Belanda.


Versi Penulis Lain

Sumber lama dari penulis lain yang masa hidupnya relatif sejaman dengan peristiwa atau kejadian tewasnya Sultan Muhammad Seman adalah buku sejarah  'Suluh Sejarah Kalimantan'  hasil jerih payah dari Amir Hasan Kiai Bondan (1882 - 1967). Bahan-bahan untuk penulisan buku 'Suluh Sejarah Kalimantan' dikumpulkan sedikit demi sedikit untuk kemudian disusun menjadi sebuah buku sejarah oleh Amir Hasan Kiai Bondan sejak tahun 1925 sampai  tahun 1953.

Khusus mengenai peristiwa gugurnya Sultan Muhammad Seman, buku 'Suluh Sejarah Kalimantan' relatif juga tidak banyak memuat tentang peristiwa pertempuran yang melibatkan pasukan yang dikepalai Sultan Muhammad Seman melawan pasukan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kalaupun ada buku-buku terbitan baru, kebanyakan mengutip dari pustaka lama seperti bukunya Amir Hasan Kiai Bondan ataupun dari buku karangan Anggraini Antemas.

Di halaman 74 bukunya, Amir Hasan Kiai Bondan menulis :
  1. 1904.  Tanggal 4 Djanuari   Gusti Arsat, Antung Durachman dan Gusti Atjil menjerah di Bandjarmasin, serta diasingkan di Djawa.  Sultan Muhammad Seman tetap mengadakan perlawanan. Lapangan perkelahian meluas sampai dilingkungan Kuala Kurun. Pada pertempuran di Kalangbarat (sungai Manawing) pengikut Pegustian melakukan perlawanan jang sengit, hingga banjak serdadu jang tewas. Kemudian dikirim serdadu marsusi (marechaussee) dipimpin oleh Letnan Christoffel ke Puruk Tjahu.
  2. 1905.  Letnan Christoffel dengan serdadu marsusi menjerang dengan tiba2 Kalangbarat. Pada perkelahian itu tewas Sultan Muhammad Seman.






"Mat Seman  bij de oigstceremonie van 1880" (Muhammad Seman dalam kegiatan panen raya tahun 1880)







Dari penulis lain, Anggraini Antemas, menulis di halaman 74 bukunya :  ..........Pusat pertahanan Sultan Muhammad Seman yang terakhir ialah di Bomban, Kalang Barat, diudik Baras Kuning, Sungai Manawing, Barito.
Pertarungan yang dahsyat terjadi di tempat itu, sehingga di kedua belah pihak amat banyak korban yang jatuh. Belanda mengetahui bahwa untuk menumpas Sultan Muhammad Seman itu, ia harus mendatangkan bantuan dari luar daerah.
Pada ketika itulah Belanda mendatangkan bala bantuan yang dipimpin oleh Letnan Christoffel dari Aceh. Adapun Christoffel sudah sejak lama terkenal sebagai komandan perang yang ahli dalam peperangan di Aceh, dan disinipun ia mengharapkan akan dapat menghancurkan pasukan-pasukannya Sultan Muhammad Seman.
Dengan gerak cepatnya marsose Belanda ini akhirnya berhasil mengepung benteng Kalang Barat tempat pertahanan Sultan Muhammad Seman, dan disini terjadilah pertempuran yang hebat.
Dalam pertempuran yang terjadi bulan Januari 1905 itu, sebiji peluru telah menembus tubuh Sultan Muhammad Seman, dan iapun gugurlah sebagai kesuma bangsa.



Tulisan Dari Sumber Belanda

Tidak lengkap kiranya pembahasan dalam tulisan ini bila belum disertakan/dimuat tulisan lain yang mengambil bahannya dari sumber-sumber barat dalam hal ini Belanda. Ada ulasan menarik yang dimuat oleh Helius Sjamsuddin. Tulisan tersebut mengambil bahannya dari sumber-sumber tertulis berupa arsip-arsip lama milik pemerintah Belanda semasa perang kolonial di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), terutama laporan langsung yang berasal dari Letnan (sewaktu membuat laporannya ini ia masih berpangkat letnan) Hans Chistoffel sendiri,  yang dalam beberapa tulisan dalam buku-buku sejarah Perang Banjarmasin oleh banyak penulis dianggap sebagai orang yang paling menonjol dalam beberapa tahun belakangan menjelang tewasnya Sultan Muhammad Seman.

Laporan Letnan Hans Christoffel yang bersifat sangat rahasia kepada gubernur jenderal Hindia Belanda di Batavia tersebut dimuat dalam 'Mailrapport' No.197, dan dalam 'Verbaal'  tertanggal 17 April 1905, atau empat bulan setelah peristiwa dramatik dan berdarah  di Kalang Barah- Manawing tanggal 24 Januari 1905. Dalam laporannya tersebut Christoffel mengatakan : "Ia telah memerintahkan Sultan untuk menyerah, tetapi Sultan Muhammad Seman dengan sisa-sisa pengikutnya yang ada membalas dengan tembakan-tembakan senapan. Oleh sebab itu marsose terpaksa membalas menembaknya. Sultan Muhammad Seman akhirnya gugur dengan dua orang pengikutnya. Mayatnya dibawa ke Puruk Cahu dan segera dikebumikan". (Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung, hal.437 - 438).



Pasukan 'marsose', ternyata tak selamanya tangguh seperti yang dilukiskan orang-orang Belanda

Satu hal yang menarik disini untuk dikaji, dalam laporannya tersebut ternyata Christoffel tidak ada sama
Letnan Hans Christoffel, digelari sebagai si 'macan Aceh' karena keganasannya.
sekali menyebutkan secara langsung siapa sosok tentara marsose yang melakukan penembakan terhadap Sultan Muhammad Seman, dan juga penembakan terhadap beberapa orang pengikutnya. Apakah Christoffel sendiri yang menembak?  Ataukah ditembak dengan senjata api yang dipegang para marsose anak buahnya? Dalam laporannya tersebut, Christoffel juga tidak menyinggung-nyinggung sama sekali nama-nama ataupun sosok pemimpin lokal Dayak. Apakah mereka ikut serta dalam ekspedisi penaklukan pemimpin Pemerintahan Pegustian terakhir itu? Semuanya masih berupa tanda tanya besar yang memerlukan jawaban serta kajian mendalam.

Kajian-kajian secara mendalam adalah sangat perlu dilakukan untuk menghilangkan kontroversi sekitar kematian Sultan Muhammad Seman. Sama juga halnya dengan tulisan yang menjadi bagian awal tulisan ini, yaitu artikel yang dibuat oleh Ir. H. M. Said diatas. Walaupun beliau tidak menyebutkan sama sekali informasi mengenai sumber awal tulisannya yang memuat tentang peristiwa kematian Sultan Muhammad Seman, adalah suatu hal yang memungkinkan kalau sumber-sumber lisan lah yang dipakai Ir. H. M. Said.

Berbicara  tentang sumber lisan, saya jadi teringat dengan isi pembicaraan ketika melakukan wawancara yang dilakukan dengan Hajjah Gusti Hindun (buyut Pangeran Antasari, atau anak dari Gusti Muhammad Arsyad) di sekitar peristiwa pengasingan Ayahanda beliau, Gusti Muhammad Arsyad, dari Banjarmasin ke Buitenzorg (kota Bogor sekarang).

Dari penuturan lisan Gusti Muhammad Arsyad semasa hidup Beliau yang didapat Hajjah Gusti Hindun terungkap, terasingkannya orang tua beliau dari tanah tumpah darahnya, Negeri Banjar, ke Bogor atau Buitenzorg waktu itu (tanggal 4 Januari 1904) ternyata adalah hasil dari rekayasa dan akal licik Belanda saja (dan tentu juga atas peranan/nasehat yang intensif dari seorang intelektual bermuka ganda Belanda bernama Dr. Christian Snouck Hurgronye). Untuk lebih lengkapnya baca juga artikel lain dalam web-blog ini:  PERANAN  DR. SNOUCK HURGRONYE  DAN PEJUANG PEJUANG ACEH DALAM PERANG BANJARMASIN.

Dengan kata lain Gusti Muhammad Arsyad telah ditipu oleh kata-kata manis dan akal bulus para petinggi militer maupun residen Belanda di Banjarmasin. (Tentang peristiwa ini dapat dibaca dalam tulisan saya yang lain di web-blog ini:  'LOLONGOK - KAMPUNG EMPANG, SEJARAH KEBERADAAN ORANG BANJAR KALIMANTAN DI BOGOR'  atau  'LOLONGOK - KAMPUNG EMPANG BOGOR, PEWARIS RAJA-RAJA BANJAR(MASIN) PERNAH DIASINGKAN DISINI'.



bersambung ..............................


Catatan : :

  1. Banyak 'gelar' yang disematkan orang kepada pemimpin terakhir Pemerintahan Pegustian ini. Ada yang menamakannya 'Raja Banjar di Tanah Dayak".
  2. Wilayah pedalaman Pulau Kalimantan yang ditempati Sultan Muhammad Seman sangat dekat dengan wilayah-wilayah pengaruh kerajaan-kerajaan tetangga seperti Kerajaan Kutai (di Kalimantan Timur), Kalimantan Barat, maupun wilayah-wilayah yang dikuasai pemimpin-pemimpin tradisional Dayak  pedalaman. Walaupun demikian, dalam perjuangannya tersebut Sultan Muhammad Seman banyak mendapat dukungan. Habib Ali, pemimpin dan pemuka orang-orang Arab di Kalimantan Barat banyak memberikan bantuan kepada para pemimpin Pemerintahan Pegustian yang bermarkas di Sungai Bomban, suatu wilayah yang berbatasan dan relatif dekat dengan Kalimantan Barat.
    Masih dari Kalimantan Barat, tepatnya Putussibau - Kapuas Hulu, muncul nama Panglima Mat Narung yang juga sangat besar sumbangannya dalam membantu perjuangan Sultan Muhammad Seman.
  3. Korps Merechaussee (marsose) adalah suatu pasukan khusus yang mana anggota-anggotanya direkrut dari pasukan infanteri tentara Hindia Belanda (NIL: Nederland Indie Lerge). Didirikan pada tanggal 20 April 1890 dimasa-masa berkecamuknya Perang Aceh. Ironisnya, pembentukan korps marsose pertama kali adalah atas usulan orang Aceh sendiri, tepatnya seorang jaksa kepala pada pengadilan di Kutaraja - Aceh, bernama Muhammad Arif ; kepada gubernur militer Aceh Jenderal  van Teijn dan kepala stafnya yang pada saat itu masih berpangkat kapten, J.B. van Heutsz. Sedangkan komandan korps marsose pertaman adalah Kapten Notten. Anggota-anggota korps marsose terdiri dari serdadu/perwira orang-orang Belanda pilihan ditambah dengan para serdadu bayaran yang berasal dari berbagai negara/wilayah; Jerman, Swiss, Belgia, dan Perancis, orang-orang Afrika, Ambon, Ternate, Halmahera, Manado, Jawa, Nias, Timor. Contohnya, Letnan H.Christoffel berasal dari Swiss, yang kemudian diberikan kewarganegaraan Belanda bersamaan dengan penganugerahan kenaikan pangkatnya menjadi  'kapten'  atas jasa-jasanya ketika memadamkan perlawanan penerus dinasti raja-raja Banjarmasin, Sultan Muhammad Seman.                                                                                               



Sumber Tulisan












Rabu, 26 Oktober 2011

KAMPUNG KUIN dan SEJARAH KESULTANAN BANJARMASIN (2)



Peta Pulau Kalimantan tahun 1728 Masehi (pada gambar ditulis  'borniau' , dalam bahasa Arab) di tengah-tengah Kepulauan Nusantara. Sumber photo: The Ottoman History Publisher, Ibrahim Muteferrika, dalam Lost Islamic History..
Dalam kurun waktu itu pula, di bawah kekuasaan raja keempat;  Sultan Mustain Billah,  atau  yang lebih dikenal dengan sebutan 'Marhum Panembahan' yang memerintah tahun 1595-1620, Banjarmasih dengan pusat pemerintahan di Karang Intan-Martapura(setelah berpindah dari Kraton Banjar di Kuin yang terbakar habis akibat serangan meriam VOC Belanda, pada tahun 1612) menjadi kerajaan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya sehingga sering menerima upeti tahunan dari raja-raja yang berada di bawah pertuanan Kerajaan Banjarmasih. Menurut sebuah berita Belanda, Kerajaan Banjarmasih pernah memiliki prajurit sampai berjumlah 50.000 orang saat itu.

Dengan kekuatan sebanyak itu, wajar bila kemudian Banjarmasih mampu membendung pengaruh Tuban, Arosbaya, maupun kekuatan yang lebih besar lagi seperti Mataram yang bermaksud 'menggantikan' dominasi Demak. Mungkin itu pula sebabnya mengapa kerajaan-kerajaan Tanah Bumbu dan Pagatan, Pulau Laut, Kerasikan, Paser, Berau, Kutai di pantai timur, Kotawaringin maupun Landak, Sukadana dan Sambas di belahan tengah dan barat pulau Kalimantan mengakui pertuanan Kerajaan Banjarmasih.

Abad ke-17 itu juga merupakan saat memuncaknya perdagangan lada yang merupakan satu-satunya komoditi ekspor Kerajaan Banjarmasih. Aktivitas pelayaran dan perdagangan yang dibiayai dengan modal penguasa dan para bangsawan Banjar membuat armadanya mampu melintasi lautan sampai ke Aceh dan Chocin Cina. Para penguasa berusaha memperoleh tanah garapan yang lebih luas lagi untuk lahan peneneman lada.

Penanaman lada ini makin berkembang seiring kedatangan pedagang-pedagang bermodal dari luar pulau seperti Melayu dan Jawa yang membawa serta keluarga dan kapal-kapal besar. Mereka adalah penduduk bandar-bandar besar di pesisir utara pulau Jawa yang melarikan diri ketika kota-kota mereka diserbu oleh laskar-laskar Sultan Agung dari Mataram.  Kedatangan para saudagar Melayu dan Jawa ini makin menambah ramai iklim perdagangan di Kerajaan Banjarmasih saat itu.

Dengan perahu-perahu layarnya, para pedagang asing dari Tiongkok, Siam, Johor, Palembang, Portugis, Inggris, Belanda datang silih berganti merapat di bandar ini untuk berniaga barang-barang komoditi seperti emas, permata, cengkih, lada, pala, champor, kulit buaya, muntiara, rotan, besi dan lain-lain.  Sedangkan Banjar mengimpor perhiasan, porselen, garam, gula, tawas dan keperluan sandang untuk penduduknya.


JEJAK SEJARAH dan BUDAYA


Sepanjang daerah tepian sungai Martapura sampai ke Kampung Kuin merupakan wilayah kota lama Banjarmasin jauh sebelum berdatangannya bangsa-bangsa Erofa.  Jejak-jejak sebagai kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan, kegiatan pelayaran dan perdagangan orang-orang Banjar tempo dulu masih meninggalkan sisa berupa bangunan-bangunan tua berasitektur tradisional 'rumah Banjar' yang berserakan di sepanjang tepi sungai, baik yang masih utuh, setengah ambruk ataupun yang hanya tinggal bekas-bekasnya saja lagi, dengan mudah dapat ditemukan.

Begitu juga tempat-tempat bersejarah seperti makam tokoh penyebar agama Islam 'Syekh Surgi MUfti' yang berada di Kampung Surgi Mufti. Makam pahlawan-pahlawan yang terkenal pada masa berkecamuknya Perang Banjarmasin, termasuk makam pahlawan nasional pencetus Perang Banjarmasin di tahun 1859-1905,Pangeran Antasari, yang semula berada di Muara Teweh - Kalimantan Tengah, kini dimakamkan di lokasi khusus tidak jauh dari Mesjid Jami - Banjarmasin.  Selain itu ada juga masjid peninggalan raja Kesultanan Islam Banjarmasin pertama 'Masjid Sultan Suriansyah' dan komplek pemakaman dinasti Raja-raja Islam Banjarmasin di Kampung Kuin.

Sayangnya, bentuk fisik bangunan peninggalan bersejarah bekas kraton Banjarmasin pertama di Kampung Kuin yang diperkirakan sudah berdiri sejak tahun 1526 M, sulit ditemukan secara utuh, kecuali komplek pemakaman dan masjid kerajaan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari beberapa kali peristiwa kelabu yang menimpa kraton Banjar saat itu. Misalnya akibat yang dialami setelah penyerbuan armada kapal perang VOC Belanda pada tahun 1612 yang meluluh-lantakkan dan membakar habis Kraton Banjarmasih.
Di tahun 1612 itu Belanda mengirimkan armada kapal perangnya yaitu de Hzewind, de Brack, de Halve Maan dan Klein van de Veer untuk menyerang Banjarmasih.

Lalu pada tahun 1677, kraton yang menjadi kediaman Pangeran Adipati Anom - sultan Banjar ke sembilan, kembali rata dengan tanah akibat penyerbuan orang-orang Melayu dan Bugis. Peristiwa yang sama terjadi lagi 24 tahun kemudian, kembali bumi Banjar memerah oleh api peperangan yang disulut Inggris pada tahun 1701 sehigga memporak-porandakan kraton Banjarmasih.

Peristiwa-peristiwa penyerbuan dan peperangan dengan bangsa asing itulah yang akhirnya menghapus jejak sejarah keberadaan kraton Banjar di Kampung Kuin hampir tanpa bekas sama sekali, baik yang ada di Kampung Kuin - Banjarmasin, maupun di Karang Intan dan Kayutangi - Martapura. Jejak salah satu kerajaan maritim terbesar dan terkuat di kawasan tengah Nusantara pada permulaan Abad ke-17.


.................................. ..............................



Bila diurutkan sejak di Kraton Kuin - Banjarmasin sampai di Kraton Karang Intan dan Kayutangi di Martapura, terdapat kurang lebih 20-an orang raja-raja yang memerintah dan bertahta di Kesultanan Banjarmasin. Mereka adalah :

1. Sultan Suriansyah (1526 - 1545)
2. Sultan Rakhmatullah (1545 - 1570)
3. Sultan Hidayatullah (1570 - 1595)
4. Sultan Mustainbillah (1595 - 1620)
5. Sultan Inayatullah (1620 - 1637)
6. Sultan Saidullah (1637 - 1642)
7. Sultan Tahlilullah (1642 - 1660)
8. Sultan Arm-Allah (1660 - 1663)
9. Sultan Surianata (1663 - 1679)
10.SultanAmr-Allah Bagus Kesuma (1680 - 1700)
11.Sultan Tahmidullah (1700 )
12.Sultan Hamidullah (1700 - 1734)
13.Sultan Tamjidullah (1734 - 1759)
14.Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1759 - 1761)
15.Sultan Sulaiman Saidullah (1761 - 1798)
16.Sultan Sulaiman Rakhmatullah (1801 - 1825)
17.Sultan Adam Al-Wasik Billah (1825 - 1857)
18a.Sultan Hidayatullah (1857 - 1862)
18b.Sultan Tamjidullah II (versi VOC Belanda) (1857 - 1859)
19.Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) (18.. - 1862)
20.Panembahan Muhammad Said ( ........
21.Sultan Muhammad Seman (1865 - 1905)


Ada beberapa versi dari banyak penulis sejarah mengenai urutan raja-raja Kesultanan Banjarmasin ini.  Bila mengikuti versi sejarawan Banjar, setelah Sultan Aliuddin Aminullah wafat, maka pamandanya -Sultan Tamjidullah- naik tahta lagi,sekaligus sebagai wali untuk putra mahkota dari faja yang wafat.
Beberapa tahun setelah itu, ia digantikan anaknya yang di masa mudanya bernama Pangeran Natanegara atau Pangeran Natadilaga, yang mana setelah manjadi raja mempunyai banyak gelar atau sebutan sesuai zaman atau masa ia memerintah, antara lain; Susuhunan Nata Alam, Sultan Sulaiman Saidullah atau Sultan Tahmidullah II, Panembahan Batu, Panembahan Anum.  Menurut M.Idwar Saleh, yang paling terkenal dari nama-nama itu adalah Susuhunan Nata Alam; salah satu raja terbesar dan terlama yang pernah memerintah/menduduki tahta Kesultanan Banjar.

Ada pun tiga orang raja terakhir (Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dan Sultan Muhammad Seman) dalam sumber-sumber sejarah lokal Banjar tidak ditemukan catatan mengenai periodesasi jabatan mereka sebagai raja-raja Banjar yang pernah berkuasa.

Sebuah buku yang diterbitkan Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan berjudul 'Urang Banjar dan Kebudayaannya', tidak mencantumkan nama-nama mereka sebagai raja-raja yang pernah ada di Kerajaan Banjar. Hal ini kemungkinan sumber pencatatan yang mereka ambil hanya berasal dari catatan-catatan pemerintah kolonial Belanda saja (lihat Noorlander, dalam 'Urang Banjar dan Kebudayaannya'  2005:28).

Begitu juga M.Idwar Saleh; dalam bukunya tidak menyinggung sama sekali dua raja terakhir dalam periodesasi pemerintahan raja-raja Banjar.  Dalam catatannya hanya sedikit ada disebutkan nama Pangeran Hidayatullah, dimana pada tahun 1860 -1862  Pangeran Hidayatullah di angkat oleh rakyat Kerajaan Banjar sebagai raja.  Padahal raja terakhir -Sultan Muhammad Seman- termasuk salah satu raja yang terlama memerintah dan fenomenal di Kerajaan Banjar, walaupun statusnya adalah raja yang memerintah dalam masa peperangan.  Kenapa dikatakan fenomenal? Sepanjang seluruh masa pemerintahannya selama lebih dari 40 tahun (1863 - 25 Januari 1905), beliau berada dalam kondisi antara hidup dan mati.  Dalam rentang waktu kehidupan sejak masa kelahiran beliau, Keerajaan Banjar (Pemerintahan Pagustian) yang beliau dan ayahnda beliau pimpin berada dalam posisi berperang dengan Pemerintahan Kolonial Belanda yang dipimpin Residen Belanda di Banjarmasin.

Sultan Muhammad Seman mewarisi darah ksatria tulen; perpaduan yang sangat kental antara keturunan raja-raja Banjar terdahulu malalui Pangeran Antasari dengan para ksatria Dayak melalui ibunda beliau yang adalah saudara kandung dari Tumenggung Surapati yang merupakan kepala suku Dayak Siang Murung. Ibunda beliau (Nyai Fatimah) adalah perempuan Dayak Siang Murung yang dinikahi oleh Pangeran Antasari, ayahanda beliau, yang saat itu menjadi Pimpinan Perang Tertinggi sekaligus Kepala Pemerintahan dan Penata Agama Kerajaan Banjar.

Setelah Pangeran Antasari wafat karena sakit tua pada tanggal 11 Oktober 1862 di desa Bayan Begok - Sampirang, Muara Teweh, Gusti Muhammad Said dan Gusti Muhammad Seman oleh para pemimpin rakyat dan para kepala suku Dayak diangkat menggantikan posisi ayahanda beliau dan diberi nama Panembahan Muhammad Said dan Sultan Muhammad Seman.  Setelah Panembahan Muhammad Said wafat karena sakit, Pemerintahan Pegustian dipegang oleh Sultan Muhammad Seman tetap dengan tanggung jawab sebagai Pimpinan Perang Tertinggi, Kepala Pemerintahan dan Kepala Agama.  Sultan Muhammad Seman kemudian gugur sebagai syuhada dalam pertempuran sengit yang terjadi untuk ke sekian kalinya di benteng Kalang Barah - Muara Teweh melawan pasukan marsose Belanda pimpinan Letnan Christoffel.

Riwayat Pangeran Antasari dan Gusti Muhammad Seman dapat ditelusuri jauh ke belakang, yaitu di masa pemerintahan Sultan Tahmidullah atau Panembahan Kuning, yang masa pemerintahannya tidak terlalu lama. Setelah beliau wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada putera tertua bernama Pangeran Hamidullah (ketika naik tahta dinamai Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning). Sedangkan putera almarhum raja yang kedua, Pangeran Tamjidullah, dijadikan Patih atau Mangkubumi.

Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning menurunkan Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah (raja ke-14) yang menikah dengan saudara sepupu beliau sendiri, yaitu anak perempuan Pangeran Tamjidullah, lalu menurunkan tiga orang anak berturut-turut Pangeran Rahmat, Pangeran Amir dan Pangeran Abdullah.
Putera raja yang kedua, Pangeran Amir, menurunkan Pangeran Mash'ud yang dikawinkan dengan Gusti Chadijah, puteri dari Sultan Sulaiman Saidullah.  Dari perkawinan ini lahir Pangeran Antasari (nama kecilnya Gusti Inu Kertapati).  Jadi Pangeran Amir (yang oleh Pangeran Natadilaga sebelum menjadi raja, dan dengan berkolaborasi dengan VOC Belanda, diasingkan ke Srilangka) inilah yang merupakan kakek langsung dari Pangeran Antasari, dan pedatuan oleh Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari, raja terakhir Kerajaan Banjarmasin, yang menghabiskan hampir seluruh usia Beliau untuk berperang dengan tentara kolonial Belanda di pedalaman Pulau Kalimantan.








Catatan



Bahan Kepustakaan








































Sabtu, 01 Oktober 2011

KAMPUNG KUIN dan SEJARAH KESULTANAN BANJARMASIN (1)








'Bandarmasih', 'Banjarmasih', atau 'Banjarmasin' ternyata merupakan nama-nama yang sama untuk menyebut ibukota propinsi Kalimantan Selatan yang usianya telah mencapai hampir lima ratus tahun dan sarat dengan kisah heroik.

Keadaan Banjarmasin yang berada di bawah permukaan air laut serta mempunyai banyak sungai -besar dan kecil- membuat masyarakatnya akrab dengan kehidupan di air.  Sungai , air dan manusia saling mempunyai keterkaitan dan isi mengisi untuk hidup.  Di beberapa tempat atau bagian tertentu daerah aliran sungai terdapat 'pasar di atas air', atau pasar terapung. Untuk waktu sekarang, pasar terapung di Muara Kuin merupakan salah satu sisa dari banyak lokasi pasar terapung yang pernah ada.

Muara Kuin atau tepatnya Kampung Kuin di Kelurahan Kuin Utara sekarang, merupakan wilayah bersejarah.  Pada awal masa berdirinya, kota Banjarmasin memang bermula di Kampung Kuin; sebuah bandar orang-orang Melayu yang didirikan Patih Masih pada permulaan Abad 15.  Kampung Kuin, Sungai Kuin dan daerah-daerah disekitarnya menjadi tempat aktivitas masyarakat dan kawula Kerajaan Banjar yang ramai di bidang ekonomi dan perdagangan. Sampai keadaan berubah ketika watak dan tabiat bangsa-bangsa kolonial memasuki wilayah ini di lain masa.

Kuin sebagai pusat pemerintahan dan ibukota Kerajaan Banjar pada masa itu lebih popoler dengan sebutan 'Bandarmasih' atau 'Banjarmasih', sedangkan nama 'Banjarmasin' sendiri timbul akibat kesalahan pengucapan para serdadu kolonial dan orang-orang Belanda maupun pendatang asing lainnya dari Erofa.  Sampai sekitar tahun 1664, arsip Kerajaan Belanda berupa surat-surat yang dikirim ke wilayah Hindia Belanda untuk sultan-sultan yang memerintah di Kerajaan Banjarmasih, tetap menyebut Kerajaan Banjarmasih dalam versi ucapan Belanda; 'Bandzermash'. Kemudian sesudah tahun 1664 menjadi 'Bandjermassinghh', dan 'Bandjermasing' (tanpa huruf s dan hh).

Sebagaimana kerajaan maritim bercorak Islam lainnya di Nusantara sekitar Abad ke-16 dan ke-17, 'Banjarmasih' yang terletak di pesisir dan muara sungai besar sekitar Muara Kuin sekarang, menggantungkan perekonomiannya di bidang perdagangan dan pelayaran luar negeri.

Jung-jung Banjar yang besar untuk pelayaran inter-insuler dan interkontinental, terutama untuk pelayaran ke Tanah Seberang (Jawa), telah mampu dimiliki dan dibuat galangan kapal 'Banjarmasih'.  Sehingga sebagai pusat kerajaan dan kota pelabuhan, 'Banjarmasih' saat itu merupakan bandar internasional yang ramai disinggahi kapal-kapal dari berbagai wilayah Nusantara dan dari berbagai bangsa di dunia.

Dalam kurun waktu itu pula ............


bersambung ...............................................................................................

Senin, 26 September 2011

RATU JALEHA, SRIKANDI GAGAH BERANI DALAM PERANG BANJARMASIN

Gambar Gusti (Ratu) Jaleha, diambil/diabadikan oleh Gusti Sugiannoor secara sembunyi-sembunyi atas permintaan H.Gusti Mayur, S.H. (penulis buku 'Perang Banjar') di Banjarmasin, beberapa tahun sebelum 'srikandi Perang Banjar' ini berpulang ke rahmatullah di rumah kontrakan sederhana Beliau di Banjarmasin.


Tidak banyak sumber tertulis di Banua yang memuat informasi lengkap dan mendetail mengenai sosok dan sepak terjang pejuang wanita berdarah bangsawan Banjar, puteri dari Sultan Muhammad Seman atau raja terakhir Kerajaan Banjar yang bertahta di Kraton Baras Kuning - Menawing, Hulu Barito, dalam kiprahnya ketika melakukan perlawanan terhadap pihak kolonial Belanda di wilayah Dusun Hulu (Propinsi Kalimantan Tengah sekarang) yang dahulu merupakan teritorial Kerajaan Banjar.
Akibat keterbatasan sumber tertulis yang akan dijadikan referensi untuk tulisan mengenai sosok dan perjuangan Ratu Jaleha, berakibat terkatung-katungnya rencana pemuatan tulisan ini dalam blog saya; Suluh Banjar.

Untungnya , ketika Penulis bersilaturahim dan melakukan wawancara dengan Ibu Hajjah Gusti Hindun pada hari Senin tanggal 26 September 2011 di tempat kediaman Beliau, Penulis diperlihatkan beberapa lembar foto lama dan langka serta dua lembar kertas foto copy-an  berisi tulisan tentang sosok Ratu Jaleha yang ditulis oleh Drs.H.Yustan Aziddin (salah satu tokoh pers Kalimantan Selatan dan pemilik surat kabar harian Banjarmasin Post). Gambar di atas, yang dijadikan pembuka tulisan ini adalah pemberian dari Ibu Hajjah Gusti Hindun, yang diambil/di-reproduksi dari artikel Banjarmasin Post tersebut. Gambar/photo asli sudah tidak diketahui lagi rimbanya. Maka sangat beruntung, kita generasi muda Banjar masih dapat melihat photo yang ada ini.

Sebelum meneruskan tulisan tentang Ratu Jaleha lebih jauh lagi, ada baiknya Penulis singgung serba sedikit mengenai Ibu Hajjah Gusti Hindun. Beliau adalah cicit langsung oleh pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Kalimantan Selatan, Pangeran Antasari. Sebagaimana tradisi dalam lingkup aristokrat Banjar, gelar 'gusti' diperoleh karena faktor keturunan dari ayahnda beliau, yakni Gusti Muhammad Arsyad bin Panembahan Muhammad Said bin Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran Antasari. Gusti Hindun adalah (salah satu) puteri Gusti Muhammad Arsyad dari salah satu isteri  beliau yang seorang perempuan bangsawan Banjar juga.


Kelahiran Srikandi Perang Banjar 

Opensif pasukan Hindia Belanda yang terus menerus (Pengaron berhasil direbut tentara Belanda, Februari 1860 menyusul wilayah Amuntai --yang oleh Pangeran Hidayatullah rencananya akan dijadikan 'Martapura Baru' alias kraton pengganti setelah kraton di Martapura dibakar habis atau dibumihanguskan oleh Belanda) membuat Pangeran Antasari beserta seluruh anggota keluarga dan kerabat Kerajaan Banjar yang menolak tunduk kepada residen Banjarmasin, mundur dan melakukan long march ke Tanah Dusun di pedalaman Barito.

Di wilayah Tanah Dusun beliau tinggal menetap dengan kerabat dekat istrinya yang berdarah Dayak Siang-Murung bernama Temenggung Surapati, pemimpin kharismatik suku Dayak Siang-Murung yang sangat disegani oleh lawan maupun kawan sesama suku Dayak di seluruh daerah Barito, Siang dan Murung, bahkan sampai ke wilayah Mahakam (Hulu), suatu wilayah yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Kutai, serta sebagian wilayah yang sekarang menjadi provinsi Kalimantan Barat.

Ikatan perkawinan antara pangeran-pangeran dari kalangan bangsawan Banjar dengan puteri-puteri dari para pemimpin Dayak terkemuka memang lazim dilakukan, dan hal ini berlangsung sejak awal terbentuknya dinasti raja-raja Banjarmasin. Dari perkawinan Pangeran Antasari dengan kerabat dekat (ada yang menyebut adik dari) Temenggung Surapati bernama Nyai Fatimah melahirkan seorang anak lelaki bernama Gusti Muhammad Seman atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gusti Mat Seman.

Tahun kelahiran Gusti Mat Seman diperkirakan sekitar tahun 1897, masa-masa dimana tentara Kompeni Belanda sedang gencar-gencarnya berusaha mematahkan dan melumpuhkan perlawanan orang-orang Banjar.

Selama perlawanan berlangsung dan setelah Pangeran Antasari wafat oleh sebab usia tua (bukan tewas atau tertangkap tentara Belanda) pada tanggal 11 Oktober 1862 di Bayan Begok - Sampirang di hulu Sungai Teweh, peperangan dilanjutkan oleh kedua putera beliau ; kakak beradik lain ibu, Gusti Muhammad Said dan Gusti Muhammad Seman. Keduanya kemudian diangkat oleh para bangsawan Kerajaan Banjar dan pemuka-pemuka perang suku Dayak (Bakumpai, Ngaju, Siang - Murung, Ot Danum) sebagai penerus dan yang berhak atas takhta Kerajaan Banjar yang disebut dengan Pemerintahan Pegustian. Gusti Muhammad Said menjadi Panembahan Muhammad Said, memerintah didampingi oleh Gusti Muhammad Seman yang menjabat sebagai sultan; Sultan Muhammad Seman.

Ketika Panembahan Muhammad Said meninggal dunia akibat terjangkit wabah penyakit cacar yang melanda wilayah pedalaman Tanah Dusun sekitar tahun 1875, Pemerintahan Pegustian yang berpusat di daerah Sungai Menawing dengan beribu-kota di Baras Kuning --(tempat ini lebih tepat disebut semacam miniatur dari Kesultanan Banjarmasin karena disinilah disimpan benda-benda pusaka kerajaan)-- seterusnya dipimpin oleh Sultan Muhammad Seman dengan didampingi beberapa kerabatnya yang terkemuka, terutama putera-putera almarhum Panembahan Muhammad Said seperti Pangeran Perbatasari (Gusti Muhammad Tarip), Pangeran Prabu Anom (Gusti Abdullah), Gusti Muhammad Arsyad.

Di lembah Sungai Barito, tepatnya di daerah Muara Laung yang relatif lebih aman dan jauh dari kontrol pasukan Belanda, istri Sultan Muhammad Seman yang bernama Nyai Salmah melahirkan seorang anak perempuan, yang kemudian diberi nama Gusti Jaleha, pada kurang lebih tahun 1880. Peristiwa kelahiran ini hanya mampu dirayakan secara sederhana karena Pemerintahan Pegustian masih dalam kondisi berperang dengan Belanda. Tetapi Sultan Muhammad Seman tetap mengundang para kerabat dekatnya -para gusti maupun pembesar suku Dayak yang ada di daerah Dususn Hulu dalam upacara pemberian nama bagi anak perempuannya yang kedua ini.

Selanjutnya Gusti Jaleha tubuh besar dan dewasa dalam tempaan suasana peperangan. Bersama-sama dengan saudara-saudaranya se-ayah (Pangeran Banjarmas dan Gusti Dijah; dari istri Sultan Muhammad Seman yang bernama Nyai Banun. Gusti Berakit atau Gusti Berkek; yang lahir dari istri Sultan Muhammad Seman bernama Nyai Mariamah) maupun dengan saudara-saudara sepupunya; Pangeran Perbatasari, Pangeran Prabu Anom, dan Gusti Muhammad Arsyad, ia mewarisi semangat kepahlawanan langsung dari ayahanda maupun kakeknya. Di usia yang relatif muda, Gusti jaleha dinikahkan oleh Sultan Muhammad Seman dengan saudara sepupunya, Gusti Muhammad Arsyad, putera bungsu Panembahan Muhammad Said.

Menarik disini untuk dicermati tentang kedudukan atau posisi Gusti Muhammad Arsyad yang ternyata sangat menonjol dalam pandangan Sultan Muhammad Seman, mertua sekaligus pamandanya sendiri.  Setelah kematian kakaknya -Gusti Abdullah atau Pangeran Prabu Anom- dalam suatu pertempuran yang sengit di Benteng Manduruian pada tahun 1883 (lebih lengkap, baca artikel lain dalam blog ini: PERAN SNOUCK HURGRONYE DAN PEJUANG-PEJUANG ACEH DALAM PERANG BANJAR), dan kakaknya yang tertua -Gusti Muhammad Tarip atau Pangeran Perbatasari- tertangkap*) oleh tentara Belanda di wilayah Kerajaan Kutai dan kemudian diasingkan ke Tondano pada tahu 1885, Gusti Muhammad Arsyad menjadi keturunan satu-satunya dari Panembahan Muhammad Said yang mempunyai hak untuk menjadi seorang 'panembahan' menggantikan kedudukan Panembahan Muhammad Said -ayahandanya sendiri, yang telah wafat- yang telah lama lowong.. Kedudukan Gusti Muhammad Arsyad menjadi lebih kuat lagi setelah ia menikah dengan saudara sepupunya sendiri; Gusti Jaleha.

Dengan tempaan dari dua orang sosok lelaki tangguh -Sultan Muhammad Seman; ayahandanya sendiri, dan Gusti Muhammad Arsyad; saudara sepupu sekaligus yang menjadi suaminya- Gusti Jaleha menjadi pribadi wanita yang 'tahan apilan'. Sekitar bulan Januari 1905, dalam suatu pertempuran hidup mati di Kalang Barah-Sungai Menawing di lembah Sungai Barito melawan sepasukan tentara marsose yang sangat efisien dan berpengalaman dalam medan pertempuran pada masa Perang Aceh, dan sama-sama dipimpin oleh komandan bernama Letnan Hans Christoffel (menjabat sebagai residen sipil dan militer Hindia Belanda untukwilayah Puruk Cahu sejak tanggal 1 Januari 1905), ayahandanya -Sultan Muhammad Seman- gugur bersama beberapa pengikutnya.

Setelah pertempuran berdarah di Kalang Barah yang berujung dengan gugurnya Sultan Muhammad Seman, anggota-anggota Pemerintahan Pegustian sama-sama saling berpencar untuk menyelamatkan diri demi menghindar dari kejaran pasukan tentara marssssose Belanda, sekaligus menyusun rencana baru untuk nantinya balik menyerang pada kesempatan yang lain.

Satu kelompok di bawah pimpinan Antung Kuwing (nama lain dari Gusti Iskandar; putera dari Pangeran Perbatasari bin Panembahan Muhammad Said dengan Gusti Dijah) menyelamatkan diri ke daerah Barito Hulu, tepatnya sekitar wilayah Tumbang Kucu atau di wilayah Muara Sungai Bubuat. Sedangkan satu kelompok lagi berada di bawah pimpinan Gusti Berakit (Gusti Berkek), putera dari Sultan Muhammad Seman dari isteri beliau yang bernama Nyai Mariamah. Di kelompok inilah Gusti Jaleha bergabung, termasuk juga didalamnya adalah ibunda Gusti Jaleha bernama Nyai Salmah dan sebagian besar anggota-anggota wanita Pegustian, antara lain; Antung Pracang, Gusti Sarehat, Nyai Juntai (nama lain dari Nyai Mariamah), Nyai Banun, Gusti Intan, Gusti lantih.

Ikut juga bergabung dalam pasukan Gusti Berakit dan Gusti Jaleha ini Panglima Amir (Panglima Aceh) dan panglima Usup (tentara atau veteran pejuang asal Kerajaan Aceh yang bergabung dan sangat aktif mendukung Pemerintahan Pegustian) serta pejuang-pejuang lain asal suku Dayak Siang Murung, terutama generasi kedua dan ketiga dari Temenggung Surapati.

Dengan berat hati, dan mata yang terus saja sembap oleh genangan airmata kesedihan akibat kematian yang mengenaskan dari Sultan Muhammad Seman (ini merupakan kejadian ke sekian kali yang terberat dialami Gusti Jaleha setelah peristiwa pengasingan suaminya -Gusti Muhammad Arsyad- ke Batavia, kemudian ke Buitenzorg/Bogor, oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1904, dan penangkapan/pengasingan Pangeran Perbatasari ke Tondano sebelum itu), Gusti Jaleha beserta pasukannya melakukan gerakan memutar untuk menjauhi desa Kalang Barah yang telah porak poranda akibat dibumihanguskan oleh pasukan marsose.

Dari sungai Menawing pasukan Gusti Berakit dan Gusti Jaleha melakukan perjalanan panjang dan sangat menguras tenaga ke arah sungai Lahey, lalu diteruskan ke Mea; sebuah perkampungan yang terletak di tepi Sungai Barito tepatnya di daerah Teweh Hulu. Tempat ini dipilih karena kondisi perkampungannya relatif lebih aman disebabkan letaknya yang terisolir dan sangat sulit didatangi bagi orang-orang luar yang belum terlalu menggenal betul kondisi wilayahnya.

Manuver yang terus menerus oleh Letnan Hans Christoffel beserta anggota pasukan marsosenya yang sangat berpengalaman dalam beberapa kali peperangan besar di Nusantara semisal perang di Aceh, yang waktunya hampir berdekatan dengan perang di wilayah Kerajaan Banjar,  memaksa mereka menaklukkan belantara lebat Kalimantan yang tak bersahabat, dan kondisinya hampir sama persis dengan hutan-hutan di Aceh/Sumatera sehingga akhirnya mampu menjejakkan kaki mereka di Teweh Hulu, tidak jauh dari Mea tempat persembunyian pasukan Gusti Berakit dan Gusti Jaleha.

Keesokan harinya sekitar bulan Juni 1905, pasukan marsose memblokade ...............................    




bersambung .............................



Catatan :
  • *)  Menurut catatan Amir Hasan Kiai Bondan dalam 'Suluh Sejarah Kalimantan', halaman 73 dikatakan; "1885    Dalam perkelahian di Pahu (Kutai) Pangeran Perbatasari menantu Gusti Mat Seman tertangkap serta diasingkan di Tondano".
  • *)  Sedangkan Helius Sjamsuddin dalam 'Pegustian dan Temenggung', halaman 325 dan seterusnya mengatakan, " ............ Perbatasari dan orang-orangnya dengan mudah tetapi 'secara khianat' ditangkap atas perintah Sultan Kutai dan mereka kemudian diserahkan kepada Asisten Residen Tromp".


Sumber Bacaan dan Kepustakaan

Sabtu, 25 Juni 2011

BENTENG TABONEO DAN PERJUANGAN RAKYAT DALAM PERANG BANJARMASIN

Benteng Taboneo ketika dalam penguasaan VOC Belanda, yang dibuat/digambar oleh seniman Belanda



Taboneo adalah sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut. Persisnya berada di muara Sungai Taboneo dan berhulu di kawasan Gunung Ratus, yang termasuk dalam rangkaian dari Pegunungan Meratus. Jaraknya dari kota Banjarmasin kurang lebih 100 kilometer.

Fungsi Sungai Taboneo sendiri pada masa Kerajaan Banjar (kraton di Kuin maupun kraton di Martapura) sampai sekitar abad ke-19 merupakan sarana lalu lintas terpenting selain Sungai Barito (Sungai Dusun) dan Sungai Martapura, sebelum adanya jalan darat seperti sekarang. Tambahan lagi, lewat sungai dan wilayah Taboneo inilah terbuka akses hubungan yang lebih luas ke wilayah lain, terutama ke Pulau Jawa karena keadaan wilayahnya yang menghadap langsung ke Laut Jawa.

Sebenarnya jauh sebelum benteng Belanda ini berdiri, wilayah sekitar Taboneo sudah berpenghuni. Letak hunian atau perkampungan awal ini sekitar satu sampai dua kilometer agak ke hulu dari komplek perbentengan. Nama kampung ini adalah Kampung Melayu. Di Kampung Melayu inilah oleh Sultan Mustain Billah atau Marhum Panembahan (1650 - 1678) sebagian rakyat Kerajaan Banjar dipindahkan ke Taboneo untuk bertanam lada, komoditas utama Negeri Banjar pada masa itu.

Adapun fisik Benteng Taboneo sekarang hanya tersisa fondasinya saja, alias sudah runtuh. Dilihat dari fondasi bangunan yang begitu tebal serta arealnya yang cukup luas, ada kemungkinan bahwa benteng ini oleh pihak VOC Belanda dianggap sebagai aset yang sangat berharga dan penting, yang memang dibangun untuk tujuan-tujuan yang strategis sifatnya. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa fakta yang terungkap kemudian. Dengan kata lain, karena posisinya yang sedemikian penting itulah sehingga membuat VOC Belanda berupaya sekuat tenaga mendekati penguasa di kraton Martapura untuk saling mengikat perjanjian.


Traktat Sultan dengan VOC Belanda


Memonopoli perdagangan ternyata adalah faktor yang menjadi alasan utama VOC Belanda mendirikan Benteng Taboneo. Untuk menguasai jalur perdagangan ke Negeri Banjar yang menjadi produsen komoditas penting dan berharga mahal, lada, dari saingan-saingannya para pedagang bangsa lain seperti Portugis, Inggris, Cina, Bugis, Jawa, dan lain-lain, VOC Belanda kemudian berinisiatif mengadakan perjanjian dagang dengan Kerajaan Banjar.

Perjanjian itu dimuat dalam Tractaat bertanggal 13 Agustus 1787, yang mana dalam perjanjian itu Sunan Nata Alam, Sultan Sulaiman, Sultan Adam dan Ratu Anom Ismail bersama-sama membubuhkan tanda tangannya. Sedangkan pihak VOC Belanda diwakili oleh Cr. Hoffman.
Tractaat 1787 memuat beberapa poin kesepakatan. Didalamnya disebutkan, VOC Belanda diberikan keleluasaan menguasai jalur perdagangan pesisir di wilayah kekuasaan Kerajaan Banjar mulai dari wilayah Paser, Pulau Laut, Taboneo dan daerah-daerah pesisir yang ada di sekitarnya, kemudian Tatas, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin. Intinya, berlaku kesepakatan (pemaksaan ataukah penipuan?) bahwa komoditas penting yang dihasilkan oleh Negeri Banjar hanya boleh diperdagangkan dengan pihak VOC Belanda dan antek-anteknya.

Poin lain dari Tractaat 13 Agustus 1787 tersebut adalah;  pihak Kerajaan Banjar mengijinkan Serikat Dagang Belanda di Hindia Timur ini untuk mendirikan sebuah benteng pertahanan di muara Sungai Taboneo.
Jauh sebelum Tractaat 1787 ditandatangani, kraton Banjar di Martapura pada tahun 1756 pernah bersepakat dengan VOC Belanda untuk menyerahkan wilayah Pulau Tatas yang terletak di wilayah Banjar Lama atau kota Banjarmasin sekarang kedalam kekuasaan Kompeni Belanda.  Upaya tersebut langsung saja ditanggapi VOC dengan mendirikan sebuah benteng pertahanan yang kuat di Pulau Tatas. Benteng ini oleh VOC Belanda diberi nama Fort van Tatas. Lokasinya adalah persis dimana Komplek Masjid Raya Sabilal Muhtadin sekarang berdiri.

Fort van Tatas seterusnya berkembang menjadi pusat pemerintahan VOC Belanda selama beberapa dasawarsa di wilayah yang (sebenarnya) menjadi hak milik Kerajaan Banjar. Ia menjadi simbol kekuasaan VOC Belanda di wilayah Kalimantan  (selatan, tengah dan tenggara).  Di benteng ini pula pada masa-masa berkecamuknya Perang Banjarmasin dijadikan sebagai penjara, atau pun tempat transit (sebelum tawanan dikirim ke tempat pembuangan selanjutnya), sekaligus menjadi ladang pembantaian atau eksekusi hukuman mati terhadap pahlawan-pahlawan Perang Banjar yang tetap tidak mau berkompromi dengan pihak asing.


Berpindah Kepemilikan


Benteng Taboneo dan Benteng Tatas pernah berada dalam penguasaan Kerajaan Banjar pada sekitar tahun 1808 sampai 1816. Pada masa itu, gubernur jenderal Belanda yang berkedudukan di kota Batavia, Daendels, memerintahkan residennya yang berkedudukan di Fort van Tatas untuk meninggalkan wilayah Kerajaan Banjar akibat maskapai dagang Belanda ini mengalami kerugian berkepanjangan selama mengikat kerjasama perdagangan dengan penguasa Negeri Banjar.

Selain itu, alasan lain yang menjadi penyebab hengkangnya VOC Belanda dari Negeri Banjar adalah karena faktor kekalahan yang diderita Pemerintah Jajahan Belanda di Nusantara dalam peperangan melawan tentara Inggris. Tanggal 26 Agustus 1811, tentara Inggris berkekuatan 60 buah kapal perang serta 12.000 anggota pasukan yang dipimpin Jenderal Auchmuty berhasil menguasai kota Batavia, wilayah Jatinegara, Bogor dan Cirebon, sehingga memaksa Gubernur Jenderal Janssens (bekas gubernur jenderal Belanda di Tanjung Harapan) mundur ke wilayah Semarang.

Upaya mempertahankan diri di Semarang ternyata tidak mampu menaikkan moril pasukan Belanda yang sudah jatuh hampir ke titik nadir. Akhirnya pasukan Belanda benar-benar menyerah kepada balatentara Inggris di suatu desa, sekitar kota Salatiga di Jawa Tengah, bernama desa Tuntang. Penyerahan Belanda kepada Inggris ini disepakati dengan dilakukannya penandatanganan naskah Kapitulasi Tuntang pada tanggal 18 September 1811, yang berisi pernyataan, salah satunya yang terpenting , Pulau Jawa maupun daerah-daerah sekitarnya yang dikuasai Belanda agar diserahkan kepada penguasa Inggris.

Sejak itulah, mulai tahun 1811 sampai  tahun 1816, daerah-daerah jajahan Belanda di Nusantara beralih dikuasai Inggris, dan oleh Gubernur Jenderal Inggris (East Indian Company) Lord Minto yang berkedudukan di India, kemudian mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai penguasa Inggris yang berkedudukan di kota Batavia.

Sepeninggal VOC Belanda dari Negeri Banjar, kedua buah benteng yang bernilai sangat strategis itu sekarang berada dalam kekuasaan Sultan Sulaiman, dan Kerajaan Banjar pun kembali bebas melakukan hubungan perdagangan dengan bangsa-bangsa asing selain Belanda.

Untuk mewakili kepentingannya di Negeri Banjar, Raffles kemudian mengangkat Alexander Hare menjadi residen Banjarmasin. Dan demi mengamankan kepentingannya lebih lanjut di Negeri Banjar, pemerintah Inggris kemudian mengikat suatu perjanjian dengan Kerajaan Banjarmasin yang dituangkan dalam Perjanjian Martapura pada tahun 1812  antara raja Kerajaan Banjarmasin (Sultan Sulaiman) beserta para petinggi dan pangeran Kerajaan Banjarmasin dengan Alexander Hare dari pihak English East India Company.  Aktivitas perdagangan di Negeri Banjar pun semakin bertambah ramai setelahnya, yang mana kemudian menarik minat Gubernur Jenderal T. S. Raffles membuka suatu daerah baru yang luas sebagai pinjaman feodal dari Sultan Banjar untuk dijadikan areal perkebunan lada di daerah yang bernama Maluka, yang meliputi Liang Anggang, Kurau dan Pulau Lamai di dekat kota Plaihari sekarang.

Dengan bantuan Gubernur Jenderal Raffles di Jawa pula, pejabat kolonial Alexander Hare mampu mendapatkan pasokan tenaga kerja berjumlah besar (kurang lebih 4.000 orang; menurut Gazali Usman, sekitar 5.000 orang; menurut Paul van't Veer) dari Pulau Jawa untuk dijadikan pekerja-pekerja perkebunan di Maluka. Pengerahan dan perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para pekerja perkebunan asal Jawa oleh tuan kebun Inggris di Maluka sempat menimbulkan kehebohan pada waktu itu karena lebih mengarah pada perbudakan gaya baru. Peristiwa inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai 'Bandzermasing Enormity'.

Relasi antara Kerajaan Banjarmasin dengan Kompeni Inggris sayang sekali tidak terlalu banyak dimuat dalam literatur sejarah Banjar. Padahal sampai abad ke-17 dalam dunia pelayaran armada laut bangsa Inggris, tempat atau negeri bernama Banjarmasin rupa-rupanya sudah lama mereka kenal dan dipetakan. Dalam peta H. Lailot yang berangka tahun 1694 sudah tertera nama 'Bendar Maffen'. Lalu dalam 'Peta Kepulauan Melaju'  yang diambil dari buku Kamus Melaju-Inggris dan Inggris-Melaju karangan Thomas Bowrey pada tahun 1701 tercantum nama 'Baniarmafseen' dengan bentuk tulisan dan huruf yang sangat jelas berwarna hitam dan tinta yang tebal; memberikan suatu kesan bagi pembacanya bahwa 'negeri' ini sebegitu pentingnya bagi armada dagang Inggris pada masa itu. Kemudian berturut-turut nama Banjarmasin diterakan dalam peta Guillaume C. pada tahun 1750 dengan nama 'Benjar Mafen', dan peta Janviera A. pada tahun 1780 dicantumkan dengan nama 'Banjarmasffen'.

Yang sangat menarik untuk dicermati adalah nama 'Martapura' justru tidak ada sama sekali tercantum dalam peta-peta para pelaut Inggris, yang ada melulu nama 'Banjarmasin'. Padahal dari tahun 1694 -saat peta H. Lailot dipakai sampai keluarnya peta Janviera A. pada tahun 1780, raja-raja (sebanyak lima orang raja; Sultan Saidullah, Sultan Tahlillullah, Sultan Tamjidullah, Sultan Tahmidullah I, Sultan Tahmidullah II) yang memerintah Kerajaan Banjarmasin tahtanya selalu berkedudukan di Martapura.    




Cap/stempel  raja  Banjar (Sultan Sulaiman) beserta para pembesar Kerajaan Banjarmasin dalam lembaran terakhir tractaat/perjanjian antara Kerajaan Banjarmasin dengan English East India Company (Serikat Dagang Inggris) yang diwakili Alexander Hare pada tahun 1812. Atas ke bawah: stempel berwarna kuning-besar milik Sultan Sulaiman. Stempel berwarna hijau-kecil milik Panembahan Adam, stempel berwarna merah-kecil milik Pangeran Aria Manca Negara, stempel berwarna merah-lebih kecil milik Pangeran Kusuma Wijaya, dan yang terakhir stempel berwarna merah dengan ukuran lebih kecil lagi milik Pangeran Ahmad. Naskah perjanjian ini sekarang menjadi koleksi British Library di Inggris. (sumber: Golden Letters, Writing Tradisions of Indonesia; halaman 54, buku koleksi pribadi). 



Beralih Kepemilikan Lagi


Mengingat begitu sangat bernilainya kedudukan Benteng Taboneo, ketika terjadi pengalihan kekuasaan dari Inggris kepada Belanda akibat Konvensi London (Convention of london) tahun 1814, pemerintah kerajaan Inggris dan Belanda di Erofa saling menyetujui dikembalikannya wilayah-wilayah tanah jajahan milik Belanda yang pernah dikuasai Inggris.
Dengan dasar kesepakatan itu, Belanda berniat hendak bercokol lagi di wilayah Kerajaan Banjar, maka dibuat lagi perjanjian antara Belanda dengan Kerajaan Banjar pada tahun 1826 dan 1856, dengan tujuan untuk mengambil alih lagi penguasaan atas Benteng Taboneo. Karena dengan dikuasainya benteng yang berada di jalur masuk ke wilayah kerajaan Banjar ini akan membuka jalan bagi Belanda untuk menguasai salah satu kerajaan maritim terpenting di Nusantara.

Dan menginngat hal itu pula, Benteng Taboneo menjadi incaran rakyat Banjar dan kemudian berhasil direbut oleh pasukan Kerajaan Banjar pimpinan Demang Leman, Kiyai Langlang dan Penghulu Haji Buyasin. Pejabat gezaghebber Tanah Laut beserta anak buahnya yang berada di dalam benteng tewas bersimbah darah. Untuk beberapa lama Benteng Taboneo beralih kepemilikan, dan menjadi benteng pertahanan rakyat Kerajaan Banjar di masa-masa awal berkecamuknya Perang Banjar pada yahun 1859.

Pendudukan oleh laskar Kerajaan Banjar atas Benteng Taboneo merupakan rangkaian dari perang terbuka yang dicetuskan petinggi-petinggi Kerajaan Banjar waktu itu, Pangeran Hidayat dan Pangeran Antasari, yang diawali dengan penyerbuan terhadap benteng Belanda yang berlokasi di wilayah pertambangan batubara Pengaron (wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar sekarang) pada tanggal 20 April 1859.
Usaha pihak penjajah untuk merebut kembali benteng strategis di dekat muara Sungai Taboneo gagal total walaupun telah mendapat dukungan kuat dari beberapa buah kapal perang milik armada angkatan laut Hindia Belanda yang dikirim langsung dari kota Batavia.

Kapal perang 'Bone' yang dipersenjatai  dan lengkap dengan  anggota pasukan yang dipimpin seorang berpangkat perwira dari angkatan laut Hindia Belanda, Letnan Cronenthal, terpaksa mundur teratur dan berbalik arah  ...........................


Lukisan benteng Tabonio  (sumber: Museum Negeri Kalimantan Selatan, Banjarbaru)




Gambaran "Benteng Taboneo" pada tahun 1861








..................... bersambung

Selasa, 21 Juni 2011

KAMPUNG BANJAR - SEMARANG, MASIH ADAKAH ?

Di kota Semarang, ibukota propinsi Jawa Tengah ada Kampung Banjar? Yang benar saja. Haaaa, memang benar-benar ada? Dimana persisnya? Ya, pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang menggelayuti pikiran saya sekian tahun yang lalu ketika menginjakkan kaki di Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.

Nama Kampung Banjar di kota Semarang pertama kali saya dengar dari penuturan seorang teman duduk saya di sebuah bus ketika saya mengadakan perjalanan dari kota Semarang ke Yogyakarta sekitar bulan Oktober 1998. Sulaiman N.A., demikian nama teman duduk saya tadi mengenalkan diri.  Beliau kebetulan adalah seorang tenaga pengajar di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang.

Tak banyak memang informasi yang saya peroleh dari Pak Sulaiman N.A. perihal keberadaan orang-orang Banjar asal Pulau Kalimantan yang membuka perkampungan di ibukota Provinsi  Jawa Tengah tersebut.  Tetapi bagi mereka yang memiliki 'sedikit'  instink jurnalistik, informasi dalam jumlah berapa pun -sedikit, apalagi banyak- tentu saja sama-sama berharganya.

Menurut penuturan Pak Sulaiman N.A., komunitas orang-orang Banjar di kota Semarang terkonsentrasi di dua tempat, yaitu di Kampung Banjar; utamanya di wilayah Jalan Petek dekat lokasi berdirinya Hotel Hwasia dan hotel Singapura. dan yang kedua adalah di Kampung Melayu, yang letaknya sekitar Jalan Layur. Kedua kampung ini, kata Pak Sulaiman N.A., merupakan bagian dari Kota Lama Semarang yang sangat banyak memiliki warisan bersejarah berupa bangunan-bangunan tua dan antik peninggalan masa kolonial.


Banjar Kauman

Ketika pada kesempatan yang kedua kalinya menginjakkan kaki di kota 'lumpia' ini untuk hanya sekedar transit menuju Jakarta bersama-sama isteri, puteri dan dua orang adik perempuan saya, kurang lebih lima tahun setelah kunjungan pertama saya pada bulan Oktober 1998 yang lalu, lagi-lagi saya tidak sempat menyambangi Kampung Banjar di Semarang. Adaaa saja halangannya.

Untuk sekedar mengobati kekecewaan di hati, saya bertolak ke Masjid Besar Semarang atau Masjid Kauman, sebuah masjid tua yang sangat bersejarah dan mempunyai nilai historis tinggi, karena merupakan salah satu peninggalan bersejarah dari sejak awal jaman kerajaan Islam di Tanah Jawa, dan telah dilindungi undang-undang kepurbakalaan. Usai menunaikan shalat fardhu disana, saya berjalan-jalan ke Kampung Kauman, yang letaknya relatif tidak terlalu jauh dari Masjid Besar Semarang.

Di sebuah rumah tua berarsitektur campuran Jawa dan Kolonial, terhampar pemandangan menarik. Di serambi dan bagian depan rumah yang telah dialihfungsikan menjadi semacam 'coffie shop', beberapa lelaki sedang berceloteh, 'dadarau-an'  suaranya. Di sudut lain, tiga orang lelaki sedang asyik memperhatikan 'sesuatu benda'  yang baru saja dikeluarkan dari sebuah kotak yang berpenampilan mewah dan menarik. Sedangkan rekannya yang lain, dengan menggunakan sebuah kaca pembesar berbentuk khusus, dengan tekun 'mengeker' benda yangbaru saja diambil dari kotaknya dan dijepit dengan ibu jari serta jari telunjuknya.











Sesekali terdengar suara tawa, 'ba-darau' lagi, yang diselingi dengan ucapan-ucapan dengan menggunakan bahasa campuran. Kadang-kadang berbahasa Indonesia, yang kemudian diselingi dengan bahasa daerah setempat, Jawa. Tapi yang lebih banyak adalah celotehan dalam bahasa Banjar yang kental. Itu pula yang keluar  ...............................................


bersambung




















































































Senin, 06 Juni 2011

GELAR PAHLAWAN NASIONAL UNTUK SULTAN MUHAMMAD SEMAN , MUNGKINKAH ?

Apakah mungkin sosok Sultan Muhammad Seman dijadikan sebagai pahlawan nasional Indonesia?

Senin, 30 Mei 2011

Selasa, 10 Mei 2011

Jumat, 08 April 2011

PERAN CHRISTIAN SNOUCK HURGRONYE DAN PEJUANG-PEJUANG ACEH DALAM PERANG BANJARMASIN




DR. Christian Snouck  Hurgronye


Snouck Hurgronye ikut terlibat dalam Perang Banjarmasin? Apakah betul? Bila betul, sampai sejauh mana keterlibatannya dalam peristiwa penting di Banua Banjar itu?. Apakah Snouck terlibat langsung dalam salah satu peperangan terlama yang dialami Pemerintahan Hindia Belanda yang berpusat di Batavia dengan salah satu kerajaan Islam di Nusantara itu selain Perang Aceh dan Perang Jambi.

Siapa sosok yang bernama C.Snouck Hurgronye?
Lalu bagaimana pula ceritanya para pejuang asal Aceh sampai ikut terlibat juga dalam peperangan yang hampir mencapai wilayah-wilayah perbatasan Kerajaan Kutai di propinsi Kalimantan Timur, serta perbatasan Kalimantan Barat sekarang?
Mungkin pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang ada dalam benak kita saat membaca judul tulisan di atas.


Episode Perang Banjar di Barito

Perang Banjar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah peperangan yang dilakukan oleh Pemerintahan Pegustian, iatu para penerus Kerajaan Banjar dari keturunan Pangeran Antasari yaitu Sultan Muhammad Seman,  yang bergabung bersama-sama dengan para penerus atau keturunan Temenggung Surapati dalam melawan hegemoni tentara kolonial Hindia Belanda di pedalaman Barito atau wilayah Tanah Dusun dan Tanah-Tanah Dayak (di propinsi Kalimantan Tengah sekarang). Peristiwanya sendiri terjadi dalam kurun waktu 1863 sampai tahun 1906.

Boleh dikatakan ini adalah merupakan periode kedua dalam Perang Banjarmasin yang berlangsung sangat lama, dan menurut pemerintah Hindia Belanda di Batavia merupakan peperangan yang berlarut-larut yang pernah mereka alami di Nusantara, sehingga begitu menguras emosi, perasaan maupun sumber pendanaan yang mereka miliki.

Sosok Christian Snouck Hurgronye
Profil dari Christian Snouck Hurgronye muda

Dr. Christian Snouck Hurgronye  adalah penasihat pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia dalam hal masalah-masalah Pribumi Nusantara dan Arab, sekaligus sebagai seorang ahli khusus mengenai masalah Aceh dan Perang Aceh. Salah seorang sejarawan Aceh, Mohammad Said, menjuluki Snouck Hurgronye sebagai 'penjahat perang kolonial'  karena tindakan-tindakannya yang cenderung menghalalkan segala cara dalam Perang Aceh.

Dalam bukunya 'Atjeh Sepanjang Abad', Mohammad Said menuliskan komentarnya tentang sosok Dr. Christian Snouck Hurgronye; Dengan tindakan menjadikan sandra keluarga T. Meuntroe Garot, Snouck Hurgronye dapat dianggap merupakan 'auctor intellectualis' metode sandra dan 'penjahat perang kolonial' kalau istilah ini dapat dipergunakan.

Snouck Hurgronye sangat intens terlibat dalam politik kolonial pemerintah Hindia Belanda, dan ia mempunyai fungsi politik. Dalam hubungan dengn fungsi politik ini dapat dilacak dari perjalanan Snouck Hurgronye ke pusat peadaban ummat Islam sedunia, Makkah, beralihnya Snouck Hurgronye menjadi Islam dan perkawinannya dengan seorang wanita muslim. Selama berada di Makkah, Snouck Hurgronye bertugas menyelidiki (lebih tepatnya memata-matai) gerak-gerik para haji dan orang-rang terkemuka asal Hindia Belanda. (Lihat: Hamid Algadri dalam 'Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda).  



'Orang-orang rantai', 'Beruang-beruang rantai',  sebutan bagi para tawanan perang Hindia Belanda. Mereka dipekerjakan sebagai tenaga pengangkut perbekalan milik tentara Hindia Belanda dalam berperang dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Para tawanan ini terkadang dibuang keluar dari tanah asalnya bila dianggap sangat membahayakan bagi pemerintahan Hindia Belanda. (Sumber photo: Ibrahim Alfian: Perang Di Jalan ALLAH)


Sebuah buku karangan C. Snouck Hurgronye mengenai Aceh yang berjudul  'De Atjehers' yang diterbitkan oleh E.J.Brill pada tahun 1893-1894 di Leiden-Negeri Belanda, menjadi acuan dan bahan bacaan penting orang-orang Belanda pada masa itu.
Sebelum itu, tepatnya mulai bulan Juli 1892 sampai Februari 1892, Snouck Hurgronye mengadakan penyelidikan mengenai agama dan politik di wilayah Aceh untuk mengetahui bagaimana sikap para ulama setelah wafatnya seorang tokoh penting dalam Perang Aceh --Tengku Chik di Tiro Muhammad Saman-- bagaimana pengaruh mereka, serta jalan manakah yang ditempuh oleh Sultan Aceh dalam memenuhi kehendak para ulama sepeninggal Tengku Chik di Tiro Muhammad Saman.

Snouck Hurgronye berpendapat bahwa pada umumnya yang dihadapi Belanda adalah sebuah gerakan rakyat yang fanatik, yang dipimpin oleh para ulama Islam. Selanjutnya dikatakan oleh Snouck Hurgronye; mereka ini hanya dapat ditaklukkan bilamana Belanda mempergunakan kekuatan senjata, dan kontak dengan mereka tidak boleh dilakukan sebelum mereka benar-benar menyerah.

Sebelumnya, pada tahun 1889 Snouck Hurgronye sebagai ahli bahasa Arab berusia 32 tahun telah mendapat pengakuan internasional dalam lingkungan ahli-ahli tentang Islam dengan sebuah publikasi yang istimewa. Karyan ya adalah suatu telaah tentang kehidupan muslimin di kota Mekkah yang tersembunyi dan terlarang bagi kalangan bukan muslim. Sebelum itu, di tahun 1884 dan 1885, dengan memakai nama samaran Abd al-Ghaffar dia mendapat kesempatan belajar dan menetap di Mekkah.

Peran Snouck Hurgronye (baik dalam masa Perang Aceh maupun Perang Banjar) adalah dalam hal memberikan advis/nasehat tentang sesuatu permasalahan yang berhubungan dengan tanah-tanah jajahan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, dalam hal ini Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.
Jadi Snouck Hurgronye memang tidak terjun langsung dalam kancah peperangan-peperangan besar itu.
Oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda (waktu itu dijabat oleh 'penakluk Aceh' sekaligus sahabat karibnya ketika sama-sama bersekolah di Negeri Belanda dahulu, J.B. van Heutz) dibentuk sebuah komisi yang terdiri atas Residen de Rooy dan Letnan Kolonel G.C.E. van Daalen, yang notabene juga seorang veteran Perang Aceh.

Tugas komisi ini adalah membuat suatu usulan atau rekomendasi tentang cara-cara pemerintah pendudukan militer Hindia Belanda bertindak di wilayah Banjarmasin dan sekitarnya -terutama untuk mengakhiri peperangan yang digerakkan oleh para penerus dan keturunan Pangeran Antasari yang ada di Tanah Dusun dan Tanah-Tanah Dayak (di wilayah propinsi Kalimantan Tengah sekarang).
Selain dari komisi de Rooy dan van Daalen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda juga mengharapkan Snouck Hurgronye sebagai seorang sahabat akrabnya semasa mereka bersekolah di Negeri Belanda mau memberikan rekomendasinya.

Model penyelesaian yang diberikan C.Snouck Hurgronye adalah model penyelesaian perang yang pernah direkomendasikannya di Aceh (tetapi menurut salah satu penulis Belanda tentang Perang Aceh, Paul van't Veer), model penyelesaian ini gagal diterapkan di Aceh, dan ini merupakan kegagalan besar bagi Snouck Hurgronye.

Hurgronye lebih menyukai tindakan kekerasan terhadap Sultan Muhammad Seman sebagai pemimpin pemerintahan Pegustian, atau sampai putra Panembahan Antasari itu betul-betul menyerah dan bertekuk lutut kepada pemerintah Hindia Belanda. Hal ini di belakang hari tidak sesuai dengan keinginan Snouck Hurgronye. Apa pasal? Dalam tubuh Sultan Mat Seman (demikian namanya sering disebut oleh orang-orang Tanah Dusun) yang dialiri darah ksatria Dayak, bertempur sampai tetesan darah terakhir ternyata lebih menjadi pilihan beliau. Beliau benar-benar ksatria tulen. Menghadapi tentara-tentara marsose yang sangat berpengalaman dalam memadamkan Perang Aceh maupun perang-perang lain di Nusantara.

Perlawanan pejuang-pejuang Banjar dan Dayak di Dusun Hulu itu kebetulan memang bersamaan waktunya dengan Perang Aceh. Banyak pejuang-pejuang Aceh yang berhasil ditawan Belanda selama perang besar itu, dan kemudian dibuang ke berbagai wilayah lain kepulauan Nusantara sebagai pekerja paksa. Di antara mereka itu adalah dua orang Aceh (bernama Amir dan Usup) yang dipekerjakan oleh Belanda sebagai tawanan dan pekerja paksa di benteng mereka di Puruk Cahu.

Tidak begitu banyak informasi yang didapat dari penulis-penulis sejarah Perang Banjar mengenai sosok para pejuang Aceh yang menerjunkan dirinya ke dalam Perang Banjar episode kedua di pedalaman Barito. Apakah mereka termasuk orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di Kerajaan Aceh sebelum itu, tidak banyak terungkap.

Tapi bila melihat kebiasaan Pemerintah Kolonoal Hindia Belanda selama masa-masa perang di wilayah-wilayah lain di Nusantara, bahwa orang-orang yang mereka tangkap - jadikan tawanan - lalu buang ke wilayah lain adalah orang-orang yang benar-benar membahayakan kedudukan pemerintahan Belanda di suatu daerah. Tidak menutup kemungkinan nama-nama seperti Panglima Amir, Panglima Usup ataupun Panglima Aceh (nama lain dari Panglima Ali) adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan cukup tinggi di Kerajaan Aceh sebelum itu. Itulah juga mengapa kemudian (baik dalam masa pimpinan Sultan Muhammad Seman maupun saat Gusti Berakit mengambil alih estafet perjuangan) orang-orang Aceh ini diberi jabatan yang cukup strategis, yaitu sebagai panglima perang.

Kedua orang mantan pekerja paksa yang telah melarikan diri dari penjagaan serdadu Belanda di benteng Puruk Cahu ini kemudian bergabung dengan pasukan Sultan Muhammad Seman, dan mereka selanjutnya sangat aktif mendukung Pemerintahan Pegustian.


Panglima Ali di Benteng Bukit Manduruian

Ketika anggota-anggota keluarga Pegustian berada dalam pengejaran tentara Belanda (sesudah meninggalnya Sultan Muhammad Seman, Januari 1905), Amir dan Usup sepakat mengikuti kemana pun perginya putera Sultan Muhammad Seman -Gusti Berakit- dan rombongannya.

Menyaksikan kesetiaan dan ketangguhan mereka dalam beberapa kali manuver menghadapi pasukan tentara marsose Belanda, ditambah pengalaman mereka yang tak kenal lelah dalam bertempur di kancah Perang Aceh, Gusti Berakit sepakat mengangkat kedua lelaki asal Aceh ini sebagai panglima-panglima perangnya, mendampingi panglima-panglima perang dan prajurit-prajurit asal Banjar dan Tanah Dayak. Nama-nama mereka pun berganti menjadi Panglima Aceh untuk Amir, dan Panglima Usup.

Jauh sebelum tahun 1905, seorang lagi pejuang Aceh ternyata pernah aktif mengikuti dan membantu perjuangan Sultan Muhammad Seman dalam suatu pertempuran hidup mati di Benteng Bukit Manduruian. Peristiwa pertempuran di Benteng Manduruian ini terjadi pada tahun 1883.

Sebelum pecah pertempuran besar di Benteng Bukit Manduruian itu, Sultan Muhammad Seman mengangkat seorang lelaki asal Aceh, yang di belakang hari kemudian diketahui sebagai veteran Perang Aceh. Lelaki bernama Ali itu kemudian diangkat oleh Sultan Mat Seman sebagai panglimanya, dengan nama Panglima Ali.
Pengaruh Panglima Ali di kemudian hari menjadi sangat besar. Ia mampu membangkitkan semangat pejuang-pejuang Banjar dan Dayak di wilayah tanah Dusun. Dimintanya dukungan rakyat setempat untuk terus membantu perjuangan Sultan Muhammad Seman dalam menghadapi agresi Belanda.

Seorang sejarawan --Helius Sjamsuddin-- mendeskripsikan keadaan Benteng Bukit Manduruian secara lebih lengkap; benteng ini terletak di puncak sebuah bukit bernama Bukit Manduruian, tepatnya di tepi sebelah kanan Sungai Lahei, di hulu Sungai Barito.

Benteng ini berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran kurang lebih 35 meter x 25 meter. Di dalam benteng yang dikelilingi pagar setinggi kira-kira 2,7 meter, para pejuang melengkapinya dengan beberapa buah meriam, ratusan buah senapan, ditambah dengan berbagai jenis senjata tajam lainnya.

Ketiga sisi bukitnya sangat curam dan sulit untuk didaki, kecuali bagian bukit sebelah utara yang kounturnya tidak terlalu curam. Maka oleh sebab itu para pejuang, utamanya Panglima Ali yang berpengalaman dalam menghadapi keganasan tentara marsose Belanda di Aceh, mengklaim Benteng Bukit Manduruian ini sangat kuat untuk dijadikan markas pertahanan dalam menghadapi serbuan tentara Belanda.

Terbukti; ternyata tidak salah pilihan Sultan Muhammad Seman ketika mengangkat dan menjadikan Panglima Ali sebagai salah seorang hulubalangnya dalam memimpin pasukan perlawanan orang-orang Banjar dan Dayak terhadap aneksasi tentara kolonial Hindia Belanda di pedalaman Barito.


Sekilas Aceh sebelum tahun 1883

Selain diamuk perang melawan bangsa kolonial, wilayah-wilayah lain di Nusantara pada kisaran tahun 1883 juga dilanda malapetaka dalam bentuk lain. Pada sekitar bulan Agustus 1883, gunung berapi di Selat Sunda -Krakatau- meletus, mengakibatkan kematian kurang lebih tiga puluh enam ribu jiwa manusia yang mendiami daerah-daerah sekitar pesisir Selat Sunda.

Terdamparnya Panglima Ali di wilayah Kerajaan Banjar yang tengah bergolak, mungkin dilatar-belakangi oleh situasi di wilayah Aceh sendiri yang luluh lantak akibat peperangan yang di sulut oleh Belanda.
Situasi di wilayah Kerajaan Aceh sebelum tahun 1883 yang melatar-belakangi tertangkap dan dibuangnya pejuang-pejuang Aceh oleh Belanda keluar dari wilayah Aceh, mungkin menarik untuk diketahui.

Dengan menggunakan berbagai cara dapatlah beberapa di antara uleebalang Aceh ditundukkan Belanda, bahkan menurut penilaian A.Pruys van der Hoeven (gubernur sipil Aceh pertama pengganti pejabat pemerintahan militer yang keras di bawah Jenderal K.van der Heijden, dan diangkat oleh gubernur jenderal Hindia Belanda di Batavia pada tanggal6 April 1881), meskipun disana-sini masih terdapat permusuhan terhadap Belanda, namun perlawanan secara umum dari rakyat Aceh tidak ada lagi. Ini buah dari tunduknya beberapa uleebalang Aceh kepada Belanda (Ibrahim Alfian; Perang di Jalan ALLAH, hal.76).

Tambahan lagi, pasukan pejuang Aceh sebelum tahun 1883 itu kehilangan seorang panglima perangnya yang gagah berani serta ahli dalam hal perang gerilya bernama Tengku Nyak Hasan, hal mana oleh Jenderal Deijkerhoff dianggap sangat menguntungkan pihak Belanda.

Untuk lebih melemahkan posisi para pejuang Aceh, banyak sekali upaya yang dilakukan Belanda agar para uleebalang mau bekerjasama dan tunduk pada kemauannya. Mereka diberi sejumlah uang (sumbangan) dan barang-barang keperluan hidup, yang kesemuanya diambil dari anggaran belanja pemerintah Hindia Belanda.
Sedangkan kepada mereka yang tidak mau bekerjasama, Belanda menawan serta menjadikan mereka pekerja paksa. Dan yang lebih tragis lagi membuang mereka jauh-jauh keluar dari wilayah Kerajaan Aceh. Hal inilah yang dialami Ali, Amir maupun Usup. Takdir dan kehendak ALLAH SWT rupanya membawa mereka ke wilayah Kerajaan Banjar yang juga tengah bergolak oleh api peperangan menghadapi musuh yang sama; 'kaphee' Belanda.

Fanatisme keagamaan dan semangat perlawanan rakyat Kerajaan Banjar di wilayah Tanah Dusun dan Tanah-tanah Dayak bangkit lagi. Ditambah dengan bergabungnya para veteran pejuang Aceh, yang ternyata tetap tangguh sekalipun mereka berada di tempat pembuangan.

Hubungan Banjar dengan Aceh sebenarnya telah dirintis jauh sejak Abad ke-17. Pada masa itu agama Islam di Kerajaan Banjarmasin berkembang dengan pesat, dan di zaman itulah di negeri Banjar hidup seorang ulama tasauf terkenal bernama Syekh Ahmad Syamsuddin Al-Banjari.

Dalam masa hidupnya, beliau sempat menyusun sebuah kitab ilmu tasauf tentang asal kejadian Nur Muhammad, yang banyak mendapat pengaruh dari ajaran Ibnu Arabi. Kitab karangan ulama asal negeri Banjar --Syekh Ahmad Syamsuddin Al-Banjari-- ini kemudian dihadiahkan oleh beliau kepada penguasa Kerajaan Aceh di zaman itu, Sulthanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah Johan Berdaulat, yang memerintah di Kerajaan Aceh pada kurun waktu 1641 - 1675 M.

Sulthanah Tajul Alam ini tidak lain adalah puteri dari Sultan Iskandar Muda (1607 - 27 Desember 1636), atau isteri dari Sultan Iskandar Tani (Iskandar Thani Alauddin Mughayat Syah) yang memerintah Kerajaan Aceh sepeniggal mertuanya, sejak tahun 1636 - 15 Februari 1641.

Di masa sesudah kemerdekaan Republik Indonesia, ada seorang mursyid (guru) Tarikat Naqsabandiyah asal Aceh bernama Syekh Jalaluddin yang pernah  menetap di wilayah bekas Kerajaan Banjar ini. Syekh Jalaluddin sempat mengajarkan ilmu tasauf kepada murid-murid beliau bertempat di sebuah langgar di daerah Alalak (termasuk dalam daerah administrasif kota Banjarmasin sekarang) bernama Langgar Tuha, yang bangunan aslinya sekarang sudah tak berbekas lagi, telah diganti dengan bangunan baru. Selain memberikan pengajian di daerah Alalak-Banjarmasin, Syekh Jalaluddin juga berdakwah sampai ke wilayah Nagara dan daerah Hulu Sungai, sehingga banyak lah beliau  mempunyai murid-murid disana.

Kentalnya hubungan antara Banjar dengan Aceh ini sempat membuat seorang sarjana-ulama terkenal sekelas Prof. Dr. HAMKA tergelitik hatinya untuk berkomentar. Menurut beliau; bahasa yang dipakai oleh orang-orang Banjar sejak semula, lama sebelum Kerajaan Islam Banjarmasin berdiri adalah bahasa Melayu.
Gelar Pangeran Samudera? Raja Kerajaan Banjarmasin sebelum memeluk agama Islam itu, tidakkah kita melihat hubungan nama itu dengan negeri (kerajaan) Samudera di Aceh, disamping Pasai?

Orang Banjar menyebut dirinya 'ulun'. Sedangkan orang Aceh menyebut dirinya 'ulun-tuan' untuk penyebutan kata 'saya' dalam bahasa Indonesia. Kata-kata 'ungkai' ketika orang meembuka (baju) sesuatu, kata-kata 'ungkai' ini terpakai dengan arti yang sama di wilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti di Minangkabau dan Semenanjung Tanah Melayu (utamanya di Malaka). Banyak sekali kata-kata dalam bahasa Banjar yang serupa pemakaiannya dengan bahasa-bahasa di negeri-negeri Melayu yang lain.

Rasa kedekatan dan persamaan-persamaan inikah yang membuat pejuang-pejuang Aceh seperti Panglima Ali, Panglima Amir, Panglima Usup ataupun orang-orang Aceh lainnya yang tidak sempat dicatat oleh sejarah, sehingga rela bersimbah darah membantu perjuangan para pewaris Pemerintahan Pegustian, penerus Kerajaan Banjar?  Wallahualam .


Daftar Pustaka

-  Dennis Lombard, "Kerajaan Aceh", Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
-  Prof. Dr. HAMKA, "Meninjau Masuknya Islam ke Kalimantan Selatan", Banjarmasin: Panitia
    Pembangunan Gedung Sekolah Menengah Puteri Muhammadiyah, 1982.
-  Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan, "Urang Banjar dan Kebudayaannya", Banjarmasin: Bada
    Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, 2005.
-  Helius Sjamsuddin, "Pegustian dan Temenggung", Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
-  Paul van't Veer, "Perang Aceh", Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985.
-  Dr. C.Snouck Hurgronye, "De Atjehers", Jakarta: INIS, 1996.
-  T. Ibrahim Alfian, "Perang di Jalan ALLAH", Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1987.
-  Wawancara dengan Guru Alalak di Banjarmasin tentang sosok Ulama asal Aceh di Banjarmasin. 


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Top WordPress Themes