Senin, 08 November 2010

SEJARAH ORANG-ORANG BANJAR DI PULAU LOMBOK DAN SUMBAWA




" Desa punika rinujak pirang, tahun prandane nora sirik, Sang Prabu Lombok hangutus, ngundang prajurit Banjar, sampun kondang roro prajurit kang kasub, haran Pelo Sutrabaya, saren lan wong Selakawis ".  (Kutipan dari Babad Lombok; Puh Pangkur, nomor 982)



Saat pertama kali menginjak Pulau Lombok, kesan pertama yang muncul dan saya rasakan adalah pulau gersang dan panas menyengat. Begitu pun ketika memasuki kota-kota yang ada disana seperti Mataram, Ampenan, serta Cakranegara,  ada aroma dan bau kotoran kuda yang merasuk ke indra penciuman. Sungguh pun kemudian ciri khas sebagai daerah tujuan wisata unggulan setelah Pulau Bali, mulai terasa. Apalagi ketika memasuki kawasan Pantai Senggigi yang elok dan eksotis. Kesan sebagai daerah yang gersang pun berangsur-angsur menghilang saat langkah kaki membawa badan ini memasuki kawasan pemukiman, yang oleh penduduk setempat disebut Kampung Banjar. Mayoritas penduduknya memang adalah warga suku Banjar yang berasal dari Banjarmasin atau wilayah lain di Propinsi Kalimantan Selatan sekarang.

Kampung Banjar terletak di kawasan kota Mataram. Kota Mataram ( yang menjadi ibukota Propinsi Nusa Tenggara Barat) terbagi dalam tiga wilayah: masing-maasing Ampenan sebagai pusat perniagaan lama, kemudian Mataram sebagai pusat pemerintahan dan Cakranegara yang dijadikan sebagai  kawasan baru untuk perniagaan.

Menurut Drs.H. Lalu Mudjitahid, orang-orang Banajar di Pulau Lombok adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah kota Mataram, yang notabene dahulunya merupakan sebuah kerajaan yang berpengaruh di kawasan itu. Berkecamuknya peperangan antara kerajaan orang Bali yang ada di Pulau Lombok dengan kerajaan milik penduduk asli Pulau Lombok mengharuskan orang-orang Banjar ikut berperang dan berpihak pada kerajaan setempat milik orang Lombok.

Menurut keterangan, sejak masa itulah peranan orang orang dari suku Banjar di Bumi Selaparang dimulai. Hanya saja tidak jelas, sejak tahun berapa masyarakat Banjar melakukan eksodus ke Pulau Lombok untuk membantu pihak kerajaan milik orang-orang suku Sasak itu.

Bila berpatokan pada tahun berdirinya Masjid Banjar di Kampung Banjar-Ampenan yang berangka tahun 1916, maka diperkirakan kedatangan orang-orang Banjar ke Pulau Lombok sudah dilakukan sebelum itu. Artinya orang-orang Banjar kemungkinan besar sudah ada disana jauh sebelum tahun 1900-an.
Hal ini diperkuat perkataan pejabat Pemda Nusa Tenggara Barat di atas, bahwa orang-orang Banjar sangat erat kaitannya dengan sejarah kota Mataram.  Bukti lain adalah keterangan dari beberapa naskah lama, baik yang ada di Kalimantan -khususnya Banjarmasin- hasil gubahan para pujangga lama kita semisal Tutur Candi atau Hikayat Lambung Mangkurat yang memuat riwayat tentang sejarah Raja-raja Banjar dan Kotawaringin, maupun yang ada di Pulau Lombok sendiri seperti Babad Selaparang dan Babad Lombok.
Naskah-naskah lama tersebut ada menyinggung tentang keberadaan orang-orang Banjar disana, jauh sebelum tahun 1900-an.

Dalam Hikayat Lambung Mangkurat (pada bagian yang menceritakan tentang sejarah raja-raja Banjar dan Kotawaringin) disebutkan adanya hubungan perkawinan antara kerabat Kerajaan Banjar bernama Raden Subangsa (yang di kemudian hari, sesudah lama menetap di Pulau Lombok diberi gelar Pangeran Taliwang) dengan puteri dari raja Kerajaan Selaparang Islam bernama Mas Surabaya. Yang mana dari hasil perkawinan ini menurunkan seorang anak laki-laki dan diberi nama Raden Mataram.
Sedangkan perkawinan Raden Subangsa dengan puteri raja Kerajaan Selaparang Islam yang menetap di Pulau Sumbawa, yaitu Mas Penghulu, melahirkan anak laki-laki juga, yang kemudian diberi nama Raden Bantan.

Siapakah sebenarnya Raden Subangsa?  Raden Subangsa adalah cucu dari Marhum Panembahan, atau bersaudara lain ibu dengan Pangeran Singamarta (Pangeran Singamarta sendiri adalah anak oleh Ratu Hayu yang merupakan adik perempuan dari Ratu Anom atau Sultan Saidullah), dengan kata lain Ratu Hayu adalah anak perempuan penghabisan dari Marhum Panembahan.
Masa hidup Raden Subangsa adalah dalam masa pemerintahan Sultan Ri'ayatullah atau Sultan Tahlilullah atau dengan sebutan yang lebih terkenal sebagai Pangeran Ratu, yang memerintah antara tahun 1642 sampai 1660 Masehi.
Raden Subangsa sendiri, yang di kemudian hari sesudah lama menetap di Kerajaan Selaparang sepeninggal isterinya yang terdahulu (Mas Surabaya), menikah lagi dengan Puteri Mas Penghulu kemudian bergelar Pangeran Taliwang, seperti diterangkan di atas. Dari keturunan Raden Subangsa-lah kemungkinan besar salah satu penyumbang banyaknya orang-orang Banjar di Provinsi NTB sekarang.

Kemungkinan ada benarnya apa yang dikatakan Prof.Dr.Sumarsono (Dekan Pasca Sarjana Universitas Udayana - Bali) bahwa; dalam cerita rakyat Bima disebutkan asal usul raja-rajanya (Kerajaan Bima maksudnya; tambahan Penulis) adalah dari tanah Banjar. (Sumarsono, dalam 'Urang Banjar dan Kebudayaannya', 2005:238)

Kembali pada keterangan Drs.H.Lalu Mudjitahid (pernah menjabat sebagai Bupati KDH. Kab. Lombok Barat) dan dikaitkan dengan penjelasan tertulis yang ditemukan dalam Babad Lombok, disebutkan; hubungan Kerajaan Banjarmasin dengan Kerajaan Selaparang Islam terjadi ketika raja Kerajaan Selaparang Islam meminta bantuan kepada Kerajaan Banjarmasin (lihat kutipan pada awal tulisan ini).

Kerajaan Banjarmasin kemudian mengirimkan dua orang pembesarnya bernama Patih Sutrabaya (Sudarbaya ?) dan Patih Pelo ke Pulau Lombok untuk membantu Kerajaan Selaparang yang saat itu sedang memerangi Arya Banjar Getas, yaitu pimpinan kerajaan kecil (di Pulau Lombok disebut 'kedatuan') Banjar Getas yang berpusat di wilayah Mamela, kurang lebih di sebelah utara kota Praya sekarang.
Kedatuan Banjar Getas dapat dikalahkan, tetapi pemimpinnya; Arya Banjar Getas beserta beberapa pengiringnya mampu meloloskan diri, dan mereka berlindung di Kerajaan Pejanggik.
Setelah peperangan itu, Kerajaan Selaparang Islam yang membawahi seluruh kedatuan Sokong, Bayan, Sasak Langu, Pejanggik, Suradadi dan Parwa, menjadi aman dan masyhur ke seluruh pelosok wilayah Nusantara pada sekitar abad ke-17.

Hanya saja di dalam Babad Lombok tidak disebutkan, apakah setelah selesai peperangan antara Kerajaan Selaparang dengan Banjar Getas, para prajurit Kerajaan Banjarmasin yang dipimpin Patih Sutrabaya dan Patih Pelo itu pulang kembali ke negeri Banjar atau kah terus menetap di Pulau Lombok.
Bila pilihan para bangsawan Banjar tersebut adalah yang terakhir, maka ada kemungkinan merekalah para pioner orang-orang Banjar sekarang yang menetap di kota Ampenan, Mataram, Cakranegara dan tempat-tempat lain di Pulau Lombok dan Sumbawa.

Drs. H. Harun Al Rasyid (pernah menjabat sebagai gubernur kepala daerah provinsi Nusa Tenggara Barat) dalam suatu kesempatan pernah memberikan pernyataan, bahwa para pendahulu dari Banjar -yang menetap dan telah menurunkan zuriat atau orang-orang Banjar yang ada di NTB sekarang- ini ikut menyebarkan agama Islam selain di Pulau Lombok juga ke Pulau Bali, khususnya ke wilayah Kerajaan Karang Asem dan Kerajaan Klungkung di Pulau Bali tempo dulu, seperti yang disebutkan (terpaparkan) pada transkripsi Babad Lombok.


Babad Selaparang


Ada pun sumber tertulis lainnya selain Babad Lombok adalah Babad Selaparang.  Babad Selaparang ditulis dalam bentuk tembang macapat berbahasa dan beraksara Sasak - Lombok.  Menilik definisi 'babad'  yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia;  Babad Selaparang dapat dikategorikan sebagai babad dalam arti yang sebenarnya.  Hal ini didasarkan pada hasil temuan isi Babad Selaparang,  yaitu memuat tentang riwayat atau sejarah keberadaan Kerajaan Selaparang yang ada di Pulau Lombok.
Dalam Babad Selaparang ada mengisahkan beberapa peristiwa yang terjadi di wilayah Kerajaan Selaparang-Lombok, yang saat itu diperintah oleh Prabu Kertabumi, dengan dibantu oleh seorang patih yang bernama Arya Banjar Getas.

Berbeda dengan Babad Lombok, Babad Selaparang dalam hal memberikan keterangan tentang asal mula keberadaan orang-orang Banjar yang ada di Pulau Lombok dan Sumbawa sangat sedikit sekali.  Babad Selaparang sama sekali tidak menyinggungnya, apalagi menyebutkan secara rinci mengenai tahun maupun bulan berkenaan dengan permintaan dari penguasa Kerajaan Selaparang-Lombok,  Prabu Kertabumi, kepada Kerajaan Banjarmasin agar mengirimkan bantuan balatentara sebagai tambahan kekuatan untuk menumpas pemberontakan yang terjadi dalam wilayah Kerajaan Selaparang yang dilakukan oleh patihnya sendiri bernama Arya Banjar Getas, diluluskan oleh penguasa Kerajaan Banjarmasin dengan mengirimkan dua orang pembesarnya yang berpangkat patih, yaitu Patih Silo dan Patih Laga beserta sejumlah anggota pasukan pilihan.

Disini, antara Babad Lombok dan Babad Selaparang ada kesamaan dalam hal menerangkan perutusan yang diminta dan dikirim oleh masing-masing kerajaan. Walau pun detail nama person (orang) yang bersangkutan agak berbeda. Hal ini mungkin akibat perbedaan penulis babad itu sendiri . Penulis Babad Lombok menyebut Patih Sutrabaya dan Patih Pelo, sedangkan Babad Selaparang menyebutnya Patih Silo dan Patih Laga.

Dikaitkan dengan keterangan tentang asal mula kedatangan orang-orang Banjar di Pulau Lombok, sumber lain ada menyebutkan bahwa orang-orang Banjar ternyata sudah lebih dulu ada jauh sebelum kedatangan kedua pembesar Kerajaan Banjarmasin beserta anggota pasukan mereka.

Sumber itu menyebutkan bahwa Arya Banjar merupakan keturunan bangsawan Kerajaan Banjarmasin yang lebih dahulu dan telah lama menetap di Pulau Lombok. yang mana dalam catatan Babad Lombok, Arya Banjar ini sebelum menjabat sebagai patih Kerajaan Selaparang sudah lebih dulu mempunyai wilayah pemerintahan sendiri berupa kerajaan kecil (kedatuan) Banjar Getas.

Itulah mungkin sebabnya mengapa Arya Banjar Getas (untuk menyebut nama pemimpin Kedatuan Banjar Getas) begitu beraninya 'ba-ulah idabul' atau melakukan pemberontakan terhadap atasannya sendiri Prabu Kertabumi, raja Kerajaan Selaparang Islam.

Jadi, mungkin wajar-wajar saja bagi penguasa asli kerajaan di Pulau lombok  -Prabu Kertabumi-  untuk meminta bantuan kepada Kerajaan Banjarmasin demi memadamkan pemberontakan yang dilakukan Arya Banjar Getas, yang ternyata masih kental darah Banjar-nya.  Dan adalah wajar pula bila Prabu Kertabumi kemudian membalas budi baik pada Kerajaan Banjarmasin dengan cara memberikan lahan pemukiman sabagai tempat menetapnya prajurit-prajurit Banjar yang tidak sedikit jumlahnya beserta para pembesar Kerajaan Banjarmasin yang berkeinginan menetap di Pulau Lombok karena enggan pulang ke Banua.


Kampung Banjar dan Kampung Melayu di kota Mataram
.............


Pengaruh Budaya Banjar dalam Budaya Sasak

.............


bersambung ..................................




Catatan

Kepustakaan


2 komentar:

Unknown mengatakan...

Hanyar tahu nah....makasih dangsanak.... Izin share.....

Edhot mengatakan...

matur tampiasih dengsanak/semeton. tiang kanak sasak lombok timur

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Top WordPress Themes