Sabtu, 25 Juni 2011

BENTENG TABONEO DAN PERJUANGAN RAKYAT DALAM PERANG BANJARMASIN

Benteng Taboneo ketika dalam penguasaan VOC Belanda, yang dibuat/digambar oleh seniman Belanda



Taboneo adalah sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut. Persisnya berada di muara Sungai Taboneo dan berhulu di kawasan Gunung Ratus, yang termasuk dalam rangkaian dari Pegunungan Meratus. Jaraknya dari kota Banjarmasin kurang lebih 100 kilometer.

Fungsi Sungai Taboneo sendiri pada masa Kerajaan Banjar (kraton di Kuin maupun kraton di Martapura) sampai sekitar abad ke-19 merupakan sarana lalu lintas terpenting selain Sungai Barito (Sungai Dusun) dan Sungai Martapura, sebelum adanya jalan darat seperti sekarang. Tambahan lagi, lewat sungai dan wilayah Taboneo inilah terbuka akses hubungan yang lebih luas ke wilayah lain, terutama ke Pulau Jawa karena keadaan wilayahnya yang menghadap langsung ke Laut Jawa.

Sebenarnya jauh sebelum benteng Belanda ini berdiri, wilayah sekitar Taboneo sudah berpenghuni. Letak hunian atau perkampungan awal ini sekitar satu sampai dua kilometer agak ke hulu dari komplek perbentengan. Nama kampung ini adalah Kampung Melayu. Di Kampung Melayu inilah oleh Sultan Mustain Billah atau Marhum Panembahan (1650 - 1678) sebagian rakyat Kerajaan Banjar dipindahkan ke Taboneo untuk bertanam lada, komoditas utama Negeri Banjar pada masa itu.

Adapun fisik Benteng Taboneo sekarang hanya tersisa fondasinya saja, alias sudah runtuh. Dilihat dari fondasi bangunan yang begitu tebal serta arealnya yang cukup luas, ada kemungkinan bahwa benteng ini oleh pihak VOC Belanda dianggap sebagai aset yang sangat berharga dan penting, yang memang dibangun untuk tujuan-tujuan yang strategis sifatnya. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa fakta yang terungkap kemudian. Dengan kata lain, karena posisinya yang sedemikian penting itulah sehingga membuat VOC Belanda berupaya sekuat tenaga mendekati penguasa di kraton Martapura untuk saling mengikat perjanjian.


Traktat Sultan dengan VOC Belanda


Memonopoli perdagangan ternyata adalah faktor yang menjadi alasan utama VOC Belanda mendirikan Benteng Taboneo. Untuk menguasai jalur perdagangan ke Negeri Banjar yang menjadi produsen komoditas penting dan berharga mahal, lada, dari saingan-saingannya para pedagang bangsa lain seperti Portugis, Inggris, Cina, Bugis, Jawa, dan lain-lain, VOC Belanda kemudian berinisiatif mengadakan perjanjian dagang dengan Kerajaan Banjar.

Perjanjian itu dimuat dalam Tractaat bertanggal 13 Agustus 1787, yang mana dalam perjanjian itu Sunan Nata Alam, Sultan Sulaiman, Sultan Adam dan Ratu Anom Ismail bersama-sama membubuhkan tanda tangannya. Sedangkan pihak VOC Belanda diwakili oleh Cr. Hoffman.
Tractaat 1787 memuat beberapa poin kesepakatan. Didalamnya disebutkan, VOC Belanda diberikan keleluasaan menguasai jalur perdagangan pesisir di wilayah kekuasaan Kerajaan Banjar mulai dari wilayah Paser, Pulau Laut, Taboneo dan daerah-daerah pesisir yang ada di sekitarnya, kemudian Tatas, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin. Intinya, berlaku kesepakatan (pemaksaan ataukah penipuan?) bahwa komoditas penting yang dihasilkan oleh Negeri Banjar hanya boleh diperdagangkan dengan pihak VOC Belanda dan antek-anteknya.

Poin lain dari Tractaat 13 Agustus 1787 tersebut adalah;  pihak Kerajaan Banjar mengijinkan Serikat Dagang Belanda di Hindia Timur ini untuk mendirikan sebuah benteng pertahanan di muara Sungai Taboneo.
Jauh sebelum Tractaat 1787 ditandatangani, kraton Banjar di Martapura pada tahun 1756 pernah bersepakat dengan VOC Belanda untuk menyerahkan wilayah Pulau Tatas yang terletak di wilayah Banjar Lama atau kota Banjarmasin sekarang kedalam kekuasaan Kompeni Belanda.  Upaya tersebut langsung saja ditanggapi VOC dengan mendirikan sebuah benteng pertahanan yang kuat di Pulau Tatas. Benteng ini oleh VOC Belanda diberi nama Fort van Tatas. Lokasinya adalah persis dimana Komplek Masjid Raya Sabilal Muhtadin sekarang berdiri.

Fort van Tatas seterusnya berkembang menjadi pusat pemerintahan VOC Belanda selama beberapa dasawarsa di wilayah yang (sebenarnya) menjadi hak milik Kerajaan Banjar. Ia menjadi simbol kekuasaan VOC Belanda di wilayah Kalimantan  (selatan, tengah dan tenggara).  Di benteng ini pula pada masa-masa berkecamuknya Perang Banjarmasin dijadikan sebagai penjara, atau pun tempat transit (sebelum tawanan dikirim ke tempat pembuangan selanjutnya), sekaligus menjadi ladang pembantaian atau eksekusi hukuman mati terhadap pahlawan-pahlawan Perang Banjar yang tetap tidak mau berkompromi dengan pihak asing.


Berpindah Kepemilikan


Benteng Taboneo dan Benteng Tatas pernah berada dalam penguasaan Kerajaan Banjar pada sekitar tahun 1808 sampai 1816. Pada masa itu, gubernur jenderal Belanda yang berkedudukan di kota Batavia, Daendels, memerintahkan residennya yang berkedudukan di Fort van Tatas untuk meninggalkan wilayah Kerajaan Banjar akibat maskapai dagang Belanda ini mengalami kerugian berkepanjangan selama mengikat kerjasama perdagangan dengan penguasa Negeri Banjar.

Selain itu, alasan lain yang menjadi penyebab hengkangnya VOC Belanda dari Negeri Banjar adalah karena faktor kekalahan yang diderita Pemerintah Jajahan Belanda di Nusantara dalam peperangan melawan tentara Inggris. Tanggal 26 Agustus 1811, tentara Inggris berkekuatan 60 buah kapal perang serta 12.000 anggota pasukan yang dipimpin Jenderal Auchmuty berhasil menguasai kota Batavia, wilayah Jatinegara, Bogor dan Cirebon, sehingga memaksa Gubernur Jenderal Janssens (bekas gubernur jenderal Belanda di Tanjung Harapan) mundur ke wilayah Semarang.

Upaya mempertahankan diri di Semarang ternyata tidak mampu menaikkan moril pasukan Belanda yang sudah jatuh hampir ke titik nadir. Akhirnya pasukan Belanda benar-benar menyerah kepada balatentara Inggris di suatu desa, sekitar kota Salatiga di Jawa Tengah, bernama desa Tuntang. Penyerahan Belanda kepada Inggris ini disepakati dengan dilakukannya penandatanganan naskah Kapitulasi Tuntang pada tanggal 18 September 1811, yang berisi pernyataan, salah satunya yang terpenting , Pulau Jawa maupun daerah-daerah sekitarnya yang dikuasai Belanda agar diserahkan kepada penguasa Inggris.

Sejak itulah, mulai tahun 1811 sampai  tahun 1816, daerah-daerah jajahan Belanda di Nusantara beralih dikuasai Inggris, dan oleh Gubernur Jenderal Inggris (East Indian Company) Lord Minto yang berkedudukan di India, kemudian mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai penguasa Inggris yang berkedudukan di kota Batavia.

Sepeninggal VOC Belanda dari Negeri Banjar, kedua buah benteng yang bernilai sangat strategis itu sekarang berada dalam kekuasaan Sultan Sulaiman, dan Kerajaan Banjar pun kembali bebas melakukan hubungan perdagangan dengan bangsa-bangsa asing selain Belanda.

Untuk mewakili kepentingannya di Negeri Banjar, Raffles kemudian mengangkat Alexander Hare menjadi residen Banjarmasin. Dan demi mengamankan kepentingannya lebih lanjut di Negeri Banjar, pemerintah Inggris kemudian mengikat suatu perjanjian dengan Kerajaan Banjarmasin yang dituangkan dalam Perjanjian Martapura pada tahun 1812  antara raja Kerajaan Banjarmasin (Sultan Sulaiman) beserta para petinggi dan pangeran Kerajaan Banjarmasin dengan Alexander Hare dari pihak English East India Company.  Aktivitas perdagangan di Negeri Banjar pun semakin bertambah ramai setelahnya, yang mana kemudian menarik minat Gubernur Jenderal T. S. Raffles membuka suatu daerah baru yang luas sebagai pinjaman feodal dari Sultan Banjar untuk dijadikan areal perkebunan lada di daerah yang bernama Maluka, yang meliputi Liang Anggang, Kurau dan Pulau Lamai di dekat kota Plaihari sekarang.

Dengan bantuan Gubernur Jenderal Raffles di Jawa pula, pejabat kolonial Alexander Hare mampu mendapatkan pasokan tenaga kerja berjumlah besar (kurang lebih 4.000 orang; menurut Gazali Usman, sekitar 5.000 orang; menurut Paul van't Veer) dari Pulau Jawa untuk dijadikan pekerja-pekerja perkebunan di Maluka. Pengerahan dan perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para pekerja perkebunan asal Jawa oleh tuan kebun Inggris di Maluka sempat menimbulkan kehebohan pada waktu itu karena lebih mengarah pada perbudakan gaya baru. Peristiwa inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai 'Bandzermasing Enormity'.

Relasi antara Kerajaan Banjarmasin dengan Kompeni Inggris sayang sekali tidak terlalu banyak dimuat dalam literatur sejarah Banjar. Padahal sampai abad ke-17 dalam dunia pelayaran armada laut bangsa Inggris, tempat atau negeri bernama Banjarmasin rupa-rupanya sudah lama mereka kenal dan dipetakan. Dalam peta H. Lailot yang berangka tahun 1694 sudah tertera nama 'Bendar Maffen'. Lalu dalam 'Peta Kepulauan Melaju'  yang diambil dari buku Kamus Melaju-Inggris dan Inggris-Melaju karangan Thomas Bowrey pada tahun 1701 tercantum nama 'Baniarmafseen' dengan bentuk tulisan dan huruf yang sangat jelas berwarna hitam dan tinta yang tebal; memberikan suatu kesan bagi pembacanya bahwa 'negeri' ini sebegitu pentingnya bagi armada dagang Inggris pada masa itu. Kemudian berturut-turut nama Banjarmasin diterakan dalam peta Guillaume C. pada tahun 1750 dengan nama 'Benjar Mafen', dan peta Janviera A. pada tahun 1780 dicantumkan dengan nama 'Banjarmasffen'.

Yang sangat menarik untuk dicermati adalah nama 'Martapura' justru tidak ada sama sekali tercantum dalam peta-peta para pelaut Inggris, yang ada melulu nama 'Banjarmasin'. Padahal dari tahun 1694 -saat peta H. Lailot dipakai sampai keluarnya peta Janviera A. pada tahun 1780, raja-raja (sebanyak lima orang raja; Sultan Saidullah, Sultan Tahlillullah, Sultan Tamjidullah, Sultan Tahmidullah I, Sultan Tahmidullah II) yang memerintah Kerajaan Banjarmasin tahtanya selalu berkedudukan di Martapura.    




Cap/stempel  raja  Banjar (Sultan Sulaiman) beserta para pembesar Kerajaan Banjarmasin dalam lembaran terakhir tractaat/perjanjian antara Kerajaan Banjarmasin dengan English East India Company (Serikat Dagang Inggris) yang diwakili Alexander Hare pada tahun 1812. Atas ke bawah: stempel berwarna kuning-besar milik Sultan Sulaiman. Stempel berwarna hijau-kecil milik Panembahan Adam, stempel berwarna merah-kecil milik Pangeran Aria Manca Negara, stempel berwarna merah-lebih kecil milik Pangeran Kusuma Wijaya, dan yang terakhir stempel berwarna merah dengan ukuran lebih kecil lagi milik Pangeran Ahmad. Naskah perjanjian ini sekarang menjadi koleksi British Library di Inggris. (sumber: Golden Letters, Writing Tradisions of Indonesia; halaman 54, buku koleksi pribadi). 



Beralih Kepemilikan Lagi


Mengingat begitu sangat bernilainya kedudukan Benteng Taboneo, ketika terjadi pengalihan kekuasaan dari Inggris kepada Belanda akibat Konvensi London (Convention of london) tahun 1814, pemerintah kerajaan Inggris dan Belanda di Erofa saling menyetujui dikembalikannya wilayah-wilayah tanah jajahan milik Belanda yang pernah dikuasai Inggris.
Dengan dasar kesepakatan itu, Belanda berniat hendak bercokol lagi di wilayah Kerajaan Banjar, maka dibuat lagi perjanjian antara Belanda dengan Kerajaan Banjar pada tahun 1826 dan 1856, dengan tujuan untuk mengambil alih lagi penguasaan atas Benteng Taboneo. Karena dengan dikuasainya benteng yang berada di jalur masuk ke wilayah kerajaan Banjar ini akan membuka jalan bagi Belanda untuk menguasai salah satu kerajaan maritim terpenting di Nusantara.

Dan menginngat hal itu pula, Benteng Taboneo menjadi incaran rakyat Banjar dan kemudian berhasil direbut oleh pasukan Kerajaan Banjar pimpinan Demang Leman, Kiyai Langlang dan Penghulu Haji Buyasin. Pejabat gezaghebber Tanah Laut beserta anak buahnya yang berada di dalam benteng tewas bersimbah darah. Untuk beberapa lama Benteng Taboneo beralih kepemilikan, dan menjadi benteng pertahanan rakyat Kerajaan Banjar di masa-masa awal berkecamuknya Perang Banjar pada yahun 1859.

Pendudukan oleh laskar Kerajaan Banjar atas Benteng Taboneo merupakan rangkaian dari perang terbuka yang dicetuskan petinggi-petinggi Kerajaan Banjar waktu itu, Pangeran Hidayat dan Pangeran Antasari, yang diawali dengan penyerbuan terhadap benteng Belanda yang berlokasi di wilayah pertambangan batubara Pengaron (wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar sekarang) pada tanggal 20 April 1859.
Usaha pihak penjajah untuk merebut kembali benteng strategis di dekat muara Sungai Taboneo gagal total walaupun telah mendapat dukungan kuat dari beberapa buah kapal perang milik armada angkatan laut Hindia Belanda yang dikirim langsung dari kota Batavia.

Kapal perang 'Bone' yang dipersenjatai  dan lengkap dengan  anggota pasukan yang dipimpin seorang berpangkat perwira dari angkatan laut Hindia Belanda, Letnan Cronenthal, terpaksa mundur teratur dan berbalik arah  ...........................


Lukisan benteng Tabonio  (sumber: Museum Negeri Kalimantan Selatan, Banjarbaru)




Gambaran "Benteng Taboneo" pada tahun 1861








..................... bersambung

Selasa, 21 Juni 2011

KAMPUNG BANJAR - SEMARANG, MASIH ADAKAH ?

Di kota Semarang, ibukota propinsi Jawa Tengah ada Kampung Banjar? Yang benar saja. Haaaa, memang benar-benar ada? Dimana persisnya? Ya, pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang menggelayuti pikiran saya sekian tahun yang lalu ketika menginjakkan kaki di Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.

Nama Kampung Banjar di kota Semarang pertama kali saya dengar dari penuturan seorang teman duduk saya di sebuah bus ketika saya mengadakan perjalanan dari kota Semarang ke Yogyakarta sekitar bulan Oktober 1998. Sulaiman N.A., demikian nama teman duduk saya tadi mengenalkan diri.  Beliau kebetulan adalah seorang tenaga pengajar di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang.

Tak banyak memang informasi yang saya peroleh dari Pak Sulaiman N.A. perihal keberadaan orang-orang Banjar asal Pulau Kalimantan yang membuka perkampungan di ibukota Provinsi  Jawa Tengah tersebut.  Tetapi bagi mereka yang memiliki 'sedikit'  instink jurnalistik, informasi dalam jumlah berapa pun -sedikit, apalagi banyak- tentu saja sama-sama berharganya.

Menurut penuturan Pak Sulaiman N.A., komunitas orang-orang Banjar di kota Semarang terkonsentrasi di dua tempat, yaitu di Kampung Banjar; utamanya di wilayah Jalan Petek dekat lokasi berdirinya Hotel Hwasia dan hotel Singapura. dan yang kedua adalah di Kampung Melayu, yang letaknya sekitar Jalan Layur. Kedua kampung ini, kata Pak Sulaiman N.A., merupakan bagian dari Kota Lama Semarang yang sangat banyak memiliki warisan bersejarah berupa bangunan-bangunan tua dan antik peninggalan masa kolonial.


Banjar Kauman

Ketika pada kesempatan yang kedua kalinya menginjakkan kaki di kota 'lumpia' ini untuk hanya sekedar transit menuju Jakarta bersama-sama isteri, puteri dan dua orang adik perempuan saya, kurang lebih lima tahun setelah kunjungan pertama saya pada bulan Oktober 1998 yang lalu, lagi-lagi saya tidak sempat menyambangi Kampung Banjar di Semarang. Adaaa saja halangannya.

Untuk sekedar mengobati kekecewaan di hati, saya bertolak ke Masjid Besar Semarang atau Masjid Kauman, sebuah masjid tua yang sangat bersejarah dan mempunyai nilai historis tinggi, karena merupakan salah satu peninggalan bersejarah dari sejak awal jaman kerajaan Islam di Tanah Jawa, dan telah dilindungi undang-undang kepurbakalaan. Usai menunaikan shalat fardhu disana, saya berjalan-jalan ke Kampung Kauman, yang letaknya relatif tidak terlalu jauh dari Masjid Besar Semarang.

Di sebuah rumah tua berarsitektur campuran Jawa dan Kolonial, terhampar pemandangan menarik. Di serambi dan bagian depan rumah yang telah dialihfungsikan menjadi semacam 'coffie shop', beberapa lelaki sedang berceloteh, 'dadarau-an'  suaranya. Di sudut lain, tiga orang lelaki sedang asyik memperhatikan 'sesuatu benda'  yang baru saja dikeluarkan dari sebuah kotak yang berpenampilan mewah dan menarik. Sedangkan rekannya yang lain, dengan menggunakan sebuah kaca pembesar berbentuk khusus, dengan tekun 'mengeker' benda yangbaru saja diambil dari kotaknya dan dijepit dengan ibu jari serta jari telunjuknya.











Sesekali terdengar suara tawa, 'ba-darau' lagi, yang diselingi dengan ucapan-ucapan dengan menggunakan bahasa campuran. Kadang-kadang berbahasa Indonesia, yang kemudian diselingi dengan bahasa daerah setempat, Jawa. Tapi yang lebih banyak adalah celotehan dalam bahasa Banjar yang kental. Itu pula yang keluar  ...............................................


bersambung




















































































Senin, 06 Juni 2011

GELAR PAHLAWAN NASIONAL UNTUK SULTAN MUHAMMAD SEMAN , MUNGKINKAH ?

Apakah mungkin sosok Sultan Muhammad Seman dijadikan sebagai pahlawan nasional Indonesia?

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Top WordPress Themes