Senin, 29 November 2010

TENGGELAMNYA KAPAL ONRUST DAN EPISODE PERANG BANJAR DI BARITO





Mungkin seperti inilah gambaran sesungguhnya dari kapal perang 'Onrust' milik Angkatan Laut Hindia Belanda yang ditenggelamkan oleh pejuang-pejuang suku Dayak dan Banjar di pedalaman Tanah Dusun pada tahun 1859



Bulan Desember 1859 merupakan saat paling bersejarah bagi penduduk di pedalaman Barito, terutama sekitar daerah-daerah Sungai Teweh, yaitu Lontotour. Karena pada bulan Desember itulah sebuah kapal perang milik pemerintah jajahan Hindia Belanda yang sedang dalam pelayaran / ekspedisi untuk menangkap salah seorang pencetus Perang Banjar -Pangeran Antasari- dan diawaki oleh kurang lebih 90 orang anak buah kapal plus tentara marinir Hindia Belanda, termasuk juga didalamnya van der Velde si komandan kapal perang bersama perwira-perwira Belanda lainnya seperti Letnan Bangert, van der Kop dan lain-lain tewas ditenggelamkan oleh pengikut Pangeran Antasari yang saat itu dipimpin oleh panglima perang Kerajaan Banjar untuk daerah Siang dan Murung (Tanah Dusun Hulu), Tumenggung Surapati.

Selain dapat menenggelamkan kapal perang yang menjadi andalan angkatan laut pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia, dari lambung Onrust juga berhasil diangkut alat-alat persenjataan berat berupa meriam-meriam besar beserta mesiunya oleh tentara-tentara suku Dayak siang Murung anak buah Tumenggung Surapati.

Lukisan seniman/pelukis Belanda mengenai sosok kapal perang Onrust yang melayari perairan di pedalaman Sungai Dusun (Barito) di dekat Lontotour, sebelum lenyap dalam keheningan dan kesunyian perairan dalam Sungai Dusun, pada Desember 1859.

Dengan meriam-meriam rampasan itu di kemudian hari pasukan-pasukan Pangeran Antasari menghujani ekspedisi tentara Belanda yang mencoba memasuki perairan Sungai Dusun (nama lain untuk Sungai Barito) dengan gencar sehingga sempat membuat kecut komandan tentara Belanda.

....................bersambung......................................

Minggu, 28 November 2010

KERAJAAN BANJAR DALAM DIMENSI SEJARAH

Peta Pulau Kalimantan tahun 1728 Masehi (dimana Kerajaan Banjarmasin berada) di tengah-tengah Kepulauan Nusantara. Sumber photo: The Ottoman Publisher - Ibrahim Muteferrika, dalam Lost Islamic History.




.................................................." Putusan Banjar prapta seba mring Mataram ",  " Utusan-utusan Banjar mengadakan kunjungan kehormatan pada Mataram ". (Babad Sangkala, tahun Saka 1564 atau tahun 1641/1642 Masehi).*)


Hari Ahad tanggal 12 Desember 2010 atau bertepatan dengan tanggal 06 Muharram tahun 1432 Hijriyah merupakan hari bersejarah bagi kerabat Kerajaan Banjar(masin) maupun masyarakat Kalimantan Selatan. Dengan dihadiri kurang lebih 23 Raja se-Nusantara ditambah utusan dari negara tetangga seperti Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura, hari itu Pangeran Haji Khairul Saleh resmi dinobatkan sebagai raja muda Kerajaan Banjar(masin) untuk meneruskan tradisi para pendahulunya sejak Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) membangun dinasti raja-raja Banjar(masin) di Kampung Kuin, sampai era kepemimpinan seorang raja Banjar(masin) yang fenomenal -Sultan Muhammad Seman- yang memimpin Pemerintahan Pagustian (penerus Kerajaan Banjarmasin) di pedalaman hutan belantara Kalimantan (sekarang termasuk ke dalam wilayah administratif Propinsi Kalimantan Tengah).

Hampir lebih dari seratus tahun sejak Sultan Muhammad Seman tewas dalam suatu pertempuran sengit melawan pasukan marsose Belanda, ketika beliau bersama-sama dengan para panglima perang dari suku Dayak dan anggota pasukannya mempertahankan benteng terakhir di Kalang Barah. Sejak itu Kerajaan Banjar(masin) seolah-olah hilang dari pentas sejarah.

Kini, di era modern dimana dunia seakan tak berjarak, tantangan menanti raja muda Banjar(masin) -Pangeran Haji Khairul Saleh- dalam memimpin kembali sebuah kerajaan yang pernah berjaya pada abad ke-17 sampai ke-18 Masehi di belahan tengah Nusantara sebagai kerajaan maritim. Mengutip pendapat salah seorang sejarawan Indonesia, A.B.Lapian, Kesultanan Banjarmasin merupakan salah satu kerajaan besar di Nusantara pada jamannya. Menurut A. B. Lapian, setelah masuknya agama Islam (ke wilayah yang dinamakan Nusantara atau Indonesia sekarang), telah muncul beberapa kerajaan besar yang memainkan peranan penting di Nusantara seperti Aceh, Banjar, Banten, Bima, Bone, Deli, Gowa, Mataram, Riau, Siak, Ternate, Tidore, dan sebagainya. Semua kerajaan tersebut berhasil menyatukan berbagai suku bangsa di bawah satu pemerintahan pusat, jadi dapat dilihat sebagai langkah yang lebih maju dari unit-unit yang masih terbatas pada ikatan desa, suku, atau bangsa,

Kemajuan teknologi berdampak besar pada semua aspek kehidupan manusia, itu semua kita mengakuinya. Tulisan ini tentu saja tidak hendak mengomentari tentang pengaruh teknologi itu sedemikian jauh. Karena, sesuai dengan judul tulisan ini 'Kerajaan Banjar dalam Dimensi Sejarah' , adalah berbagi pengetahuan kepada sesama tentang Kerajaan Banjar(masin) dan sejarahnya, serta beberapa fakta berkenaan dengan angka-angka tahun maupun sisa-sisa peninggalan/warisan sejarah Banjar yang masih ada di masa sekarang ini.

Akhir-akhir ini di dunia maya (internet) ramai bermunculan situs atau laman yang berkaitan dengan 'Banjar' baik itu di situs pertemanan, blog, website, dan lain sebagainya, baik di Indonesia sendiri maupun di luar negeri.  Fenomena ini sangat menarik perhatian, apalagi bila dikaitkan dengan dilantiknya raja muda Banjar di kota Martapura Darussalam, yang merupakan pusat Kerajaan Banjar(masin) terakhir sebelum di bumi-hanguskan oleh tentara kolonial Hindia Belanda.
Hal ini tentu saja menarik, karena tidak semua orang tahu tentang hal ikhwal mengenai Kerajaan Banjar(masin). Apakah yang namanya Kerajaan Banjar(masin) itu memang pernah ada di Banua kita yang tercinta ini.


'Banjar' dan Istilah


Istilah 'banjar' muncul sekitar Abad ke-15 atau 16 Masehi beriringan dengan terbentuknya Kerajaan Banjar yang didirikan oleh Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah pada tahun 1526 M. Bila mengikuti pendapat Hooykaas maupun penulis-penulis asing lainnya,  maka usia Banjarmasin sebagai sebuah (kota) kerajaan ternyata lebih tua lagi. Hooykaas, asisten residen Belanda dan merangkap sebagai ketua Dewan Banjarmasin di tahun 1930-an, yang sempat menulis sebuah buku tentang peringatan tiga lustrum keprajaan daerah kota Banjarmasin (1919 - 1934)  dimana sebagian tulisannya mengutip dari buku karangan J. Hageman Joz ; "In 1520 werd de negeri Bandjermasin in de benedenlanden gesticht", " Pada tahun 1520 negeri Banjarmasin didirikan di daerah hilir". Daerah "hilir" yang dimaksud oleh Hageman tidak lain merujuk pada daerah yang sekarang bernama Kampung Kuin.

Kata 'banjar' berasal dari sebutan awal untuk 'Bandarmasih', yaitu nama suatu kampung atau  pedukuhan orang-orang Melayu yang ada di muara Sungai Kuin, yang dikepalai seorang pimpinan mereka yang bernama Patih Masih. Bila mengikuti pendapat dari Prof.Dr.Noer'id Haloei Radam, istilah 'banjar' sebagai sebuah sungai yang merupakan anak sungai atau cabang Sungai Barito. 'Banjar' merujuk kepada nama perkampungan atau nama sungai yang terletak di kawasan muara Barito dimana tetuhanya adalah -Masih- yang kemudian diberi gelar Patih , lalu menjadi Patih Masih. Jadi kata 'banjar' bukan terambil dari kata Melayu 'bandar' yang artinya tempat pemukiman di tepi sungai atau pesisir, tetapi kata tersebut asli berasal dari khazanah kata penduduk asli tempatan. (Prof. Dr. H. Noer'id Haloei Radam, dalam: Sumbangan Kebudayaan Daerah untuk Penyuburan Nilai-nilai Kebangsaan, 1996).

Seiring berjalannya waktu kata 'banjar' lambat laun tidak lagi berarti suatu kampung atau pedukuhan yang dihuni orang-orang Melayu ('oloh Masih' dalam bahasa Ngaju; bahasa penduduk asli setempat yang lebih dulu ada) tetapi berkembang menjadi sebutan untuk menyatakan identitas wilayah suatu negeri atau kerajaan, bahasa, suku bangsa, orang atau manusia, bangunan rumah atau arsitektur dan seterusnya, yang mula-mula terdapat di daerah ini.


Bandar Melayu atau Oloh Masih


Bermula dari sebuah kampung atau pedukuhan, lalu menjadi bandar yang banyak dihuni penduduk pendatang dari suku Melayu di tengah-tengah koloni masyarakat suku asli setempat -Dayak Ngaju- yang mendiami perairan Barito Hilir. Bandar ini dikepalai seorang 'patih' Melayu bernama Patih Masih, atau Patih Oloh Masih. Perkataan 'oloh masih' dalam bahasa Ngaju mempunyai pengertian 'orang Melayu'. Mereka kemudian menyebut kampung di Muara Kuin Cerucuk yang dihuni orang-orang Melayu tersebut sebagai 'kampung' atau 'bandar oloh Masih', yang mempunyai arti 'kampungnya orang-orang Melayu'.

Perkataan 'bandar oloh Masih' yang diucapkan orang-orang Ngaju lama kelamaan penyebutannya menjadi 'Bandarmasih', sampai kemudian kampung ramai yang dihuki oleh koloni pertama orang-orang Melayu dan dikepalai Patih masih ini disebut 'Bandarmasih', lalu menjadi 'Banjarmasih' yang tetap mempunyai arti yang sama yaitu 'bandarnya Patih Masih'.

Dalam perkembangan selanjutnya, nama 'Banjarmasin' timbul akibat kesalahan pengucapan orang-orang Erofa terutama Belanda. karena logat mereka, perkataan 'Banjarmasih' dilafalkan menjadi 'Bandjarmassing', lalu 'Bandjemasin'. sampai sekitar tahu 1664, arsi-arsip Belanda berupa surat-surat yang dikirim ke wilayah Nusantara untuk sultan-sultan yang memerintah di Kerajaan Banjarmasih tetap menyebut Kerajaan banjarmasih dalam versi ucapan Belanda 'Bandzermash'. Kemudian sesudah tahun 1664 menjadi 'Bandjermassingh', dan 'Bandjarmasing' (tanpa huruf 's' dan 'h'). Di pertengahan Abad ke-19, sebutan untuk kota ini menjadi 'Bandjermasin', dan pada zaman Jepang dikenal sebagai 'Banjarmasin' (menurut bahasa Indonesia EYD), sampai sekarang.

Dari sebuah bentuk bandar atau kampung, 'Banjarmasih' -menurut sebutan penduduk Ngaju- yang banyak dihuni orang-orang Melayu, berkembang manjadi sebuah bandar besar yang tidak hanya dihuni warga Melayu tetapi juga didiami orang-orang dari suku Ngaju, Maanyan, Bukit, Jawa serta penduduk asing lainnya. Apalagi setelah Raden Samudera sebagai cikal bakal dinasti yang memerintah Kerajaan Banjarmasih diangkat menjadi raja atau dirajakan oleh beberapa pemimpin/penguasa wilayah muara dan pesisir Sungai Barito, 'bandar Patih Masih' bertambah ramai.

Raden Samudera adalah seorang pelarian politik. Cucu dari Maharaja Sukarama ini menyembunyikan diri di sekitar wilayah 'bandar Patih Masih' karena berselisih paham dengan pamannya yang ingin menguasai tampuk pemerintahan Negara Daha -sebuah kerajaan Hindu di pedalaman- yang penuk intrik dan perebutan kekuasaan sepeninggalnya Maharaja sukarama. Apalagi setelah Pangeran Mangkubumi yang seharusnya menggantikan Maharaja Sukarama terbunuh, situasi politik kerajaan pedalaman itu makin menghangat.

Dengan 'hilangnya' putera mahkota pewaris pemerintahan Negara Daha, berarti melicinkan jalan bagi Pangeran Tumenggung untuk menduduki singgasana kerajaan di pedalaman. Sementara di wilayah muara Sungai Barito, Patih Masih, yang mengetahui asal usul si 'pelarian politik' ini, bersama empat orang patih pemimpin penguasa daerah muara dan pesisir sungai Barito yaitu Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, dan Patih Kuin yang semula tunduk pada kekuasaan kerajaan pedalaman, sepakat mengangkat Raden Samudera menjadi pemimpin mereka dan terpisah dari Negara Daha yang diperintah Pangeran Tumenggung.

Pangeran Samudera dirajakan di kerajaan baru 'Bandarmasih' setelah terlebih dahulu merebut Muara Bahan (daerah sekitar kota Marabahan di Kabupaten Barito Kuala sekarang) sebuah bandar yang sudah ramai penduduknya tetapi berada di bawah penaklukan Negara Daha, lalu memindahkan bandar tersebut ke Bandarmasih bersama para penghuninya. Bagi Pangeran Tumenggung hal itu berarti awal suatu pemberontakan yang akan menyingkirkannya dari tahta kekuasaan, dan tentu saja ini harus ditumpas.


Kampung Keraton di Muara Kuin


Dengan dibantu tentara-tentara dari Kerajaan Demak, kemenangan demi kemenangan selalu berpihak pada Pangeran Samudera. Puncaknya terjadi sekitar bulan September 1526 M, Pangeran Tumenggung mengakhiri perselisihan intern kerajaan yang telah berlangsung lama dengan cara menyerahkan tahta kerajaan kepada keponakannya, Pangeran Samudera.

Sebagai penguasa baru kerajaan, Pangeran Samudera yang kemudin berganti nama menjadi Sultan Suriansyah setelah memeluk agama Islam, lalu memproklamirkan 'bandar Patih Masih' yang terletak di pinggir Sungai Kuin itu sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Banjarmasih yang pertama, dan menjadikan rumah besar kediaman Patih Masih sebagai istana kerajaan. Banjarmasih kemudian menjadi ibukota sekaligus pusat kerajaan baru yang menguasai daerah-daerah sekitar pantai, sungai besar maupun wilayah pedalaman propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sekarang.

Keberadaan awal 'Banjarmasih' yang menjadi ibukota kerajaan termasuk unik karena terbentuk dan dikelilingi lima buah sungai yang ujung-ujungnya saling bertemu sehingga membentuk sebuah danau di utara komplek kraton. Berdasarkan peta rekonstruksi Banjarmasih dalam kurun waktu atau tahun 1530 Masehi yang dibuat oleh sejarawan Banjar diketahui;  kediaman Sultan di komplek kraton terletak di antara Sungai Keramat dan Sungai Jagabaya di Kelurahan Kuin Utara sekarang. Bentuk bangunan yang disebut sebagai 'kraton' pada saat itu diperkirakan masih berupa 'betang' sebagaimana umumnya rumah-rumah tempat tinggal penduduk asli Ngaju, tetapi dengan paduan arsitektur awal rumah Banjar 'bubungan tinggi'.

Di kanan dan kiri komplek kraton didirikan beberapa bangunan pendukung sebagaimana layaknya istana tempat tinggal raja yang menjadi pusat pemerintahan, misalnya bangunan mesjid pertama yang terletak di seberang Sungai Jagabaya. Sedangkan bangunan lain berupa 'paseban', 'pagungan', dan 'sitilohor' menempati areal yang lebih luas di sebelah Sungai Keramat. Menyeberang 'danau pedudusan' tempat bertemunya kelima anak Sungai Kuin dan Sungai Barito searah dengan kraton, terdapat alun-alun luas berpagar kayu kokoh untuk tempat mengadakan latihan berkuda dan perang-perangan.

Perangkat pendukung lainnya dari keberadaan Banjarmasih saat itu sebagai pusat pemerintahan adalah terdapatnya pusat perniagaan berupa pasar, baik yang terletak di darat maupun pasar di atas air, atau 'pasar terapung'. Daerah industri pembuatan perahu dan jung-jung Banjar terletak di Sungai Pandai, yang sekaligus menjadi tempat pemusatan padagang-pedagang besar dan kediaman warga asing. Penduduk kerajaan -saat itu sudah mencapai jumlah sekitar 15.000 orang ditambah rakyat Negara Daha yang diangkut ke Banjarmasih- menempati 'lanting-lanting'sebagai rumah terapung di sepanjang tepi sungai, seperti layaknya rumah-rumah milik orang Palembang. Keterangan ini berasal dari catatan perjalanan orang-orang Tiongkok dari dinasti Ming sekitar tahun 1618 Masehi yang pernah mengadakan pelayaran sampai ke Banjarmasih, lalu mencatatnya dalam suatu lembaran yang dinamakan 'berita Cina'. Dan sebagian penduduk lainnya menghuni 'betang-betang' besar dari kayu bertiang tinggi serta mampu menampung sampai seratus orang penghuni di dalamnya. Adapun daerah-daerah daratn yang terletak di sekitar lima anak Sungai Kuin dan Sungai Barito sebagian digarap untuk sawah dan perkebunan penduduk.

Keadaan dan situasi Kerajaan Banjarmasih dalam masa beberapa abad yang silam dilukiskan oleh Prof.Dr. Hamka dalam tulisan beliau; "dalam lembaran catatan sejarah Dinasti Ming di Tiongkok no.323 disebutkan, di Banjarmasin itu tempo dulu terdapat pusat kegiatan niaga yang besar". Jika diingat bahwa Dinasti Ming memerintah dari tahun 1368 - 1643 M, dapatlah kita kira-kirakan bahwa sejak lama orang-orang Cina pun telah datang berniaga ke Banjarmasin, terutama mencari hasil bumi yang amat diperlukan dinegerinya akan ditukar dengan kain-kain tenun yang halus-halus dan barang-barang porselen. (Prof.Dr. Hamka: 'Meninjau Sejarah Masuknya Islam ke Kalimantan Selatan', 1982).

Bisa dikatakan, 'Bandarmasih' pada saat itu  (sekitar abad ke-16 dan ke-17 M)  merupakan salah satu kota kerajaan teramai di wilayah Kalimantan selain Pasir, Kutai, Sambas, Sukadana dan Bandar Brunei di belahan utara pulau Kalimantan.

Daerah bekas pusat pemerintahan Kerajaan Banjarmasih pada masa-masa awal ini sampai sekarang dikenal dengan sebutan 'Kampung Kraton', terletak di sekitar komplek pemakaman raja-raja Banjar di Kelurahan Kuin Utara sekarang.  Komplek pemakaman yang diperkirakan mulai dibuat sekitar tahun 1550, yaitu pada masa pemerintahan raja Banjar kedua  -Sultan Rakhmatullah-  pada mulanya merupakan sebuah gunungan berupa susunan batu bata yang seluruh dindingnya dibuat berukir indah.  Bangunan makamnya berdiri setinggi kurang lebih dua meter dari permukaan tanah, dan mempunyai tangga untuk naik ke atas bangunan makam.

Pada tahun 1970, dinding sebelah selatan komplek pemakaman yang menghadap ke arah Sungai Kuin pernah digali, ternyata sampai pada kedalaman satu meter lebih belum mencapai landasan bawah.  Mungkin karena kondisi tanah yang lemah di sekitar komplek pemakaman, ditambah akibat beban batu-batu makam yang berat maka banguna makam 'Panembahan Batu Habang' -sebutan penghormatan masyarakat Banjar untuk Sultan Suriansyah setelah wafat- perlahan-lahan tenggelam sehingga hampir rata dengan permukaan tanah.

Ukuran batu bata besar di komplek pemakaman Sultan Suriansyah sama dengan ukuran batu bata yang ada di reruntuhan komplek Candi Agung - Amuntai, dan di bekas tempat pemujaan masa pra-Islam di sekitar berdirinya Mesjid Pusaka Banua Lawas - Tanjung.  Mungkin ada benarnya perkiraan para ahli selama ini yang mengatakan bahwa tanah sekitar komplek pemakaman raja-raja Banjar tersebut dahulunya adalah bekas istana (kraton) pertama Kerajaan Banjarmasin yang dibangun oleh Sultan Suriansyah, yang tidak lain merupakan rumah kediaman Patih Masih.

Tetapi jangan berharap untuk dapat melihat sisa-sisa bangunan peninggalan bersejarah itu, karena secara fisik situs bekas kraton sulit ditemukan secara utuh, kecuali komplek pemakaman raja-raja Banjar tadi.  Hal ini tidak dapat dilepaskan dari beberapa peristiwa yang menimpa kraton Banjarmasih saat itu.  Misalnya akibat yang dialami setelah penyerbuan armada kapal perang VOC Belanda pada tahun 1612 M yang menghancurkan dan membakar habis kraton Banjarmasih, sehingga pusat pemerintahan dan dipindahkan oleh Sultan Mustain Billah ke Kayu Tangi, dekat Teluk Selong di Martapura sekarang.

Pada tahun 1663 di masa pemerintahan raja ke sembilan, Pangeran Surianata gelar Adipati Anom, kota kerajaan kembali dipusatkan di Banjarmasih.  Bandar ini kemudian berkembang semakin pesat, dimana pelabuhannya mampu menampung lebih dari seribu buah kapal layar sehingga membuka kontak perhubungan antara Banjar dengan hampir seluruh negeri dan kerajaan di wilayah Nusantara, bahkan sampai ke negeri Siam dan Chocin Cina.  Sedemikian ramainya Negeri Banjar ketika itu membuat peniaga-peniaga asing dari benua Erofa turut mencoba mengadu peruntungan. Tetapi karena sifat culasnya, mereka (terutama VOC Belanda) ditolak memasuki Negeri Bannjar, sehingga membuat marah pelaut-pelaut Belanda yang berujung pada penyerbuan armada VOC Belanda pada tahun 1612.

Setelah sempat menikmati ketenangan dan kemakmuran dari perniagaan antar pulau selama labih dari setengah abad setelah penyerbuan armada VOC Belanda, petaka lama terulang lagi. Sekali ini Negeri Banjar diserang oleh orang-orang sesama ras Melayu, kraton di Kuin sebagai pusat pemerintahan dan kediaman Pangeran Adipati Anom rata dengan tanah akibat penyerbuan orang-orang Melayu dan Bugis pada tahun 1677 M.  Peristiwa yang sama terjadi 24 tahun kemudian, kali ini pasukan armada dagang Inggris dengan beberapa buah kapalnya memasuki perairan Banjarmasin dan ingin menanamkan pengaruhnya sehingga turut mempunyai andil dalam penghancuran dan perusakan atas kraton Banjarmasih pada tahun 1701.

Akibat seringnya mengalami penyerbuan dari bangsa asing maka pusat pemerintahan dipindahkan dari Kuin. Kali ini Pulau Tatas lah yang dipilih, sehingga membuat wilayah Pulau Tatas semakin penting dan berkembang pesat sejak tahun 1710 M, serta mampu menggantikan peranan Kampung Kraton di Muara Kuin sebagai pusat pemerintahan turun temurun.

Peta lama wilayah Pulau Tatas beserta bentengnya yang menjadi wilayah Belanda, dan wilayah di seberangnya yang menjadi teritorial Kerajaan Banjarmasin. (Sumber pengambilan gambar dari salah satu buku yang ditulis oleh Idwar Saleh).


Zaman berlanjut terus. Karena makin kuatnya kedudukan VOC Belanda di negeri Banjar maka berdasarkan kontrak yang ditandatangani berturut-turut pada tahun 1747, 1817, dan diperbarui lagi pada tanggal 4 Mei 1826 tentang penguasaan atas sebagian wilayah Kerajaan Banjarmasih oleh VOC Belanda, sehingga membagi dua ibukota Banjarmasih dengan batas-batas alam berupa Sungai Martapura dan Sungai Kuin. Dalam kontrak tahun 1826 yang ditanda tangani oleh Sultan Adam al Wasikh Billah diserahkanlah Pulau Tatas, dimana termasuk di dalamnya daerah Kuin Selatan yang letaknya persis berseberangan dengan lokasi kraton, ditambah beberapa wilayah lainnya sampai ke wilayah Mantuil sekarang (Schan van Tuyl; menurut sebutan Belanda)  kepada pihak VOC Belanda.

Tahun 1857 untuk ke sekian kalinya Banjarmasih menjadi ibukota kerajaan lagi. Di akhir masa pemerintahan raja Banjar ke-17, Sultan Adam (1825 -1857) bersama Nyai Ratu Kemala Sari pindah ke Banjarmasih dari Martapura dan menempati kraton di Sungai Mesa. Dalam wilayah yang dikuasai Kerajaan Banjarmasih bermunculan kampung-kampung penting selain di Muara Kuin, yaitu Kampung Sungai Mesa sendiri tempat kedudukan dan pusat pemerintahan Kerajaan Banjarmasih yang dihuni oleh Sultan Adam, serta sebuah istana untuk mangkubumi kerajaan . Dari wilayah Sungai Mesa sampai Kelayan dan Kuin Utara menjadi pusat pemerintahan, pelayaran dan kegiatan perdagangan orang-orang Banjar. Rumah-rumah penduduk menyebar di sepanjang tepi sungai seperti Kuin, Sungai Miai, Teluk Mesjid tempat berdirinya mesjid jami pertama, Sungai Jingah, Pecinan Laut, dan Kampung Sungai Mesa sendiri. Setelah Sultan Adam wafat, sampai tahun 1860 kraton di Kampung Sungai Mesa tetap menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Banjarmasih yang terakhir di bawah Sultan Tamjidillah, sebelum diasingkan ke Jawa Barat. Sedangkan mangkubumi kerajaan yang dipegang oleh Pangeran Hidayatullah -pencetus Perang Banjar bersama Pangeran Antasari- tetap menempati kraton di Martapura.

Hubungan tradisional antara Banjarmasih dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, baik yang ada di Pulau Kalimantan maupun kerajaan-kerajaan diluarnya tetap berlangsung baik. Misalkan dengan cara saling melakukan kunjungan antara raja-raja tersebut. Itulah sebabnya di sudut kota lama Banjarmasin yaitu di wilayah sekitar Pasar Lama sekarang, pernah berdiri rumah pesanggrahan untuk peristirahatan raja-raja dari wilayah Kalimantan Timur yang melakukan kunjungan ke Kerajaan Banjarmasih. Pesanggrahan raja-raja yang dipenuhi alat-alat rumah tangga yang lengkap ini dibangun menghadap ke ujung Sungai Kuin dan Jalan Teluk Masjid, dimana untuk menghubungkan kedua wilayah ini dengan Pasar Lama di Kampung Parit dibuatkan sebuah jembatan 'ringkapan' (jembatan gantung yang bisa diangkat untuk kapal lewat, seperti jembatan 'Kota Intan' yang ada di dekat Jalan Kali Besar Barat, Jakarta).

Adapun wilayah Pulau Tatas yang dikuasai Belanda sentralnya berada di Benteng Tatas (Fort van Tatas) yang didirikan pada tahun 1756 M. Benteng ini berbentuk empat persegi panjang, hampir menyerupai bentuk hewan penyu tak berekor yang sedang tengkurap, dengan kepala menghadap sungai. Sedangkan dindingnya terbuat dari balok-balok kayu tebal setinggi tiga meter, bukan beton semen. Di dalam benteng terdapat beberapa fasilitas untuk keperluan ketentaraan dan pertahanan seperti perumahan untuk para perwira sub-altern, asrama untuk para prajurit militer , kantor, rumah sakit militer (yang juga melayani masyarakat umum), gudang perbekalan, bahkan pasar. Dan tiap sudut benteng (bastion) dipasangi meriam besar. Pola pembangunan kota-kota di Neegeri Belanda, yang sebenarnya juga kota air dan tak jauh berbeda dengan kondisi Banjarmasin, banyak diterapkan oleh penguasa Bealanda di Banjarmasin. Nama Jalan 'Heerengracht'  (sekarang namanya Jalan D.I. Panjaitan) juga ada di kota Amsterdam. 'Gracht' ialah kanal atau 'terusan', atau sungai kecil, sungai buatan bukan alam,  yang digali untuk berbagai keperluan ringkas: jalan keluar masuk perahu-perahu kecil, pertahanan, got/saluran air terbuka untuk drainase dan lain-lain. 

Sampai menjelang akhir Abad XIX, Fort van Tatas berkembang menjadi pusat kekuasaan dan administrasi pemerintah kolonial Hindia Belanda, baik sipil maupun militer. Dengan adanya proklamasi residen Hindia Belanda F.N.Nieuwenhuyzen tanggal 11 Juni 1860, Kerajaan Banjarmasih dihapus sehingga secara teknis administratif seluruh wilayah Banjarmasih diperintah langsung oleh pemerintaha Hindia Belanda dengan pusat pemerintahannya di Batavia waktu itu. Dalam perkembangan selanjutnya, perencanaan kota Banjarmasin yang dimulai sebelum berkecamuknya perang dunia kedua, tak luput  mendapat masukan dan ide-ide menarik dari seorang ahli perencanaan kota terkenal Belanda, Ir. Thomas Karsten.


Photo lama Banjarmasin sekitar tahun 1800-an. Kawasan ini dahulunya merupakan salah satu tempat paling ramai dan eksotis di wilayah Kerajaan Banjarmasin, karena berdekatan dengan jalan masuk ke kawasan Kween. Bila ke timurnya merupakan kawasan yang oleh masyarakat Banjar disebut sebagai 'Kampung Singapura', karena banyaknya berlabuh kapal-kapal/armada milik saudagar Banjar yang pulang pergi dari/menuju Singapura. Di latar belakang gambar adalah Masjid Jami pertama di Banjarmasin, yang dibangun sekitar tahun 1795 (1777 ?) Masehi, sebelum dipindahkan lebih ke darat lagi dan dibangun baru, sekarang dikenal sebagai Masjid Jami Banjarmasin.


Kerajaan Maritim


Sebagaimana kerajaan maritim bercorak Islam lainnya di Nusantara pada abad ke-16 dan ke-17, Kerajaan Banjarmasih yang terletak di pesisir dan muara sungai besar sekitar Muara Kuin sekarang, menggantungkan perekonomiannya di bidang perdagangan dan pelayaran luar negeri.

'Lada' sebagai produk utama kerajaan ini menjadikan 'Bandarmasih' sebagai pelabuhan antara bagi pelayaran laut dari Makassar ke wilayah barat Nusantara. Jatuhnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Malaka, Aceh dan kerajaan-kerajaan lain di bawah kontrol VOC Belanda, serta berpindahnya bandar peerdagangan internasional ke timur yang berpusat di Makassar, menambah pesatnya iklim perdagangan di Kerajaan Banjarmasih.


Jung-jung yang ada di Nusantara. Manakah jung Banjar sekarang ?

Jung-jung Banjar yang besar untuk pelayaran inter-insuler dan interkontinental telah mampu dimiliki dan dibuat galangan kapal Banjarmasih. Sehingga sebagai pusat kerajaan dan kota pelabuhan , Banjarmasih ketika itu merupakan bandar internasional yang ramai disinggahi kapal-kapal dari berbagai daerah dan bangsa di dunia.

Dalam kurun waktu itu pula, di bawah kekuasaan raja keempat Sultan Mustain Billah (lebih dikenal dengan sebutan 'Marhum Panembahan' yang memerintah tahun 1595 - 1620) Kerajaan Banjarmasih dengan pusatnya di Karang Intan - Martapura (setelah boyong dari kraton Banjarmasih di Kuin yang luluh lantak oleh hantaman meriam VOC Belanda pada tahun 1612) menjadi kerajaan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya, dan sering menerima upeti tahunan dari raja-raja yang berada di bawah pertuanan Banjarmasih. Menurut sebuah berita belanda, Kerajaan Banjarmasih pernah memiliki prajurit sampai berjumlah 50.000 orang.

Dengan kekuatan tentara sebanyak itu, wajar bila kemudian Banjarmasih mampu membendung pengaruh Tuban, Arosbaya maupun Mataram yang bermaksud 'menggantikan' dominasi Demak. Tahun 1615 M, raja-raja Tuban dan Arosbaya pernah memerangi Kerajaan Banjarmasih karena mereka menuntut agar Banjar tunduk pada mereka (J.K.J.de Jonge, dalam H.J.de Graaf). Usaha penaklukan Tuban maupun Arosbaya di Jawa Timur berakhir ketika Tuban dan Arosbaya ditaklukkan oleh tentara-tentara Sultan Agung dari Kerajaan mataram pada tahun 1619 M. Mungkin itu pula sebabnya mengapa kerajaan-kerajaan Tanah Bumbu dan Pagatan, Pulau Laut, Kerasikan, Pasir, Berau, Kutai di pantai timur, maupun Kotawaringin, Landak, Sukadana, Mempawah, Sambas di belahan tengah dan barat pulau Kalimantan mengakui pertuanan Kerajaan Banjarmasih.

Hubungan Banjarmasih dengan Kerajaan Mataram pernah mengalami masa-masa menyenangkan, yaitu dengan datangnya perutusan Kerajaan Banjarmasih di ibukota Kerajaan Mataram pada pertengahan bulan Oktober 1641 M. Sekitar pertengahan bulan Oktober 1641 tibalah seorang utusan raja Banjarmasin di Jepara dengan pengiring sebanyak 500 orang (Daghregister, 22 Oktober 1641). Utusan yang berjumlah besar ini diizinkan datang di kota istana (Laporan Umum, 12 Desember 1641, Jonge hlm.248).
Utusan besar-besaran dari Kerajaan Banjarmasih yang bertandang ke Kerajaan Mataram meninggalkan bekas-bekasnya dalam cerita-cerita tradisional di kedua kerajaan.

Di Jawa diceritakan dalam babad-babad tahunan. Babad Sangkala mencatat pada tahun Jawa 1564 Saka atau bertepatan dengan tahun 1642 Masehi; Putusan Banjar prapta seba mring Mataram, 'utusan-utusan Banjar mengadakan kunjungan kehormatan pada Mataram'.  Gubernur Jenderal Inggris di Jawa, Raffles, pun sempat mencatat (Chronilogical Table) atas peristiwa yang terjadi pada tahun tersebut; 'Kehadiran orang Banjarmasin di istana Mataram', begitu ditulis oleh Sir T. S. Raffles dalam catatannya.

Hal ini bertolak belakang dengan tahun-tahun sebelum peristiwa lawatan besar-besaran orang-orang Banjar ke Kerajaan Mataram. Pada bulan Juli 1631 di Banjarmasin terdengar desas-desus bahwa Kerajaan Mataram merencanakan suatu serangan dengan 2.000 kapal, sehingga pada tahun itu tidak ada kapal-kapal dagang dari Mataram yang muncul di pelabuhan-pelabuhan Banjarmasih. Raja Banjarmasih juga tidak lagi mengizinkan orang-orang Mataram masuk ke kerajaannya. Hal ini dicatat dalam Daghregister tertanggal 1 September 1632.

Untuk mengantisipasi kemungkinan yang lebih buruk bila serangan betul-betul dilakukan Mataram, Raja Banjarmasih kemudian mengirimkan dua orang utusannya ke Batavia. Oleh utusan tersebut disampaikan undangan kepada pemerintah tinggi Hindia Belanda agar mengirimkan beberapa kapal kesana. hubungan baik ini membawa ke suatu persetujuan antara Kompeni dan Kerajaan Banjarmasih pada tanggal 4 September 1635 ( Cense, hal.95 -105, dan J.E. Heeres, hal.270 -271)

Hubungan Kerajaan Banjarmasih dengan Mataram berangsur-angsur membaik ketika keduanya mengadakan perdamaian setelah sempat tegang selama bertahun-tahun. Golongan istana dan bangsawan-bangsawan Banjar yang pro Inggris dan pro Mataram makin bertambah banyak, sedangkan sikap mereka terhadap orang-orang Belanda sangat bertolak belakang, sehingga makin menyudutkan kedudukan Kompeni Belanda di Banjar. Hal ini kemudian memicu pada perusakan pada loji Belanda di Martapura, yang menewaskan seluruh pegawai loji Belanda tersebut.

Di era Sultan Mustain Billah pula Kerajaan Banjarmasih mampu meluaskan pengaruhnya ke belahan lain pulau Kalimantan, yaitu dengan cara mengirim salah seorang puteranya yang bernama Pangeran Adipati Anta Kesuma mendirikan Kerajaan Kotawaringin pada tahun 1679 M. Generasi kelima dari dinasti raja-raja Banjarmasin inilah yang menurunkan raja-raja Kotawaringin sekarang. Pangeran Adipati Anta Kesuma sesudah resmi menjadi raja Kerajaan Kotawaringin kemudian diberi gelar Ratu Begawan.

Selain di pulau Kalimantan, Kerajaan Banjarmasih juga membina hubungan baik dengan keraajaan lain di Nusantara. Salah seorang cucu Marhum Panembahan (nama lain Sultan Mustain Billah) yang bernama Raden Subangsa yang tidak lain adalah saudara lain ibu dengan Pangeran Singamarta, dikawinkan dengan dua orang puteri raja Kerajaan Selaparang yang menguasai pulau Lombok dan Sumbawa.
Raden Subangsa sendiri yang di kemudian hari sesudah lama menetap di Kerajaan Selaparang diberi gelar Pangeran Taliwang. Dari perkawinan itu lahir anak dan keturunan Raden Subangsa atau Pangeran Taliwang, yang mana menurut cerita-cerita rakyat di kepulauan Nusa Tenggara terutama di Kerajaan Bima, bangsawan dari Kerajaan Banjarmasin inilah yang menurunkan raja-raja yang ada disana. (Keterangan Prof.Dr. Sumarsono, Dosen Pasca Sarjana Universitas Udayana-Bali, lihat: 'Urang Banjar dan Kebudayaannya').

Misi pengiriman Raden Subangsa ke Kerajaan Selaparang oleh pihak istana Kerajaan Banjarmasin ini diperkirakan terjadi dalam era pemerintahan Sultan Ri'ayatullah atau Sultan Tahlilullah, atau dengan sebutan yang lebih dikenal untuk masa itu, Pangeran Ratu, yang diperkirakan memerintah Kerajaan Banjarmasin antara tahun 1642 - 1660 M. Tentang sejarah hubungan Kerajaan Banjarmasin dengan negeri-negeri di seberang lautan, utamanya sejarah hubungan dengan kerajaan di Nusa Tenggara akan dimuat dalam tulisan lain berjudul  "Sejarah Orang Orang Banjar di Nusa Tenggara".


Perahu kuno berbahan dasar kayu ulin yang ditemukan di pantai Jawa Tengah, diduga berasal dari daratan Kalimantan (Selatan). Mungkinkah ini merupakan perahu peninggalan dari rombongan utusan Kerajaan Banjarmasih yang pernah melakukan kunjungan ke Tanah Jawa pada masa Kerajaan Mataram sebagaimana yang disebutkan dalam bait-bait tembang Babad Sangkala? (Sumber gambar: Balai Arkeologi Yogyakarta).


Teritorial Kerajaan


Pada masa itu pembagian wilayah teritorial dalam sistem pemerintahan untuk seluruh wilayah/daerah Kerajaan Banjarmasin dikenal 3(tiga) jenis wilayah terotorial, meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan kerajaan. tiga wilayah teritorial itu ialah :

1. Negara Agung
Wilayah Kerajaan Banjarmasin meliputi titik pusat, yaitu wilayah kraton tempat istana raja yang berkedudukan di Kayu Tangi - Karang Intan. Sejak abad ke-17 M, Karang Intan menjadi ibukota Kerajaan Banjarmasin samapi masa pemerintahan Sultan Sulaiman Almu'tamidullah (1801 - 1825). Dengan demikian hampir selama dua abad Karang Intan menjadi pusat pemerintahan kerajaan dan memegang peranan penting dalam percaturan politik kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Sultan pertama yang menjadikan Karang Intan sebagai ibulota kerajaan adalah Sultan Musta'in Billah (1595 - 1620) dan sejak itu berlanjut sampai ke masa pemerintahan Sultan Sulaiman Almu'tamidullah. Baru pada masa Sultan Adam al Wasikh Billah (1825 - 1857) pusat pemerintahan dipindahkan ke kraton Bumi Selamat - Martapura. Periode Karang Intan sebagai ibukota dan pusat pemerintahan kerajaan berlangsung sangat lama dibandingkan dengan Martapura.


2.Wilayah teritorial yang kedua meliputi daerah-daerah:
- Tanah Laut,
- Banjar Lama dengan Pelabuhan Banjarmasin,
- Banua Ampat meliputi wilayah Martapura dan Rantau,
- Banua Lima meliputi Nagara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua,
- Margasari,
- Alay,
- Daerah Amandit,
- Muara Bahan,
- Tanah Dusun, nama lain untuk daerah atas Barito.


3.Wilayah Teritorial ketiga adalah:
- Tanah Bumbu,
- Pulau Laut,
- Karasikan,
- Pasir,
- Berau, Kutai dan daerah-daerah di pantai timurnya,
- Kotawaringin,
- Landak, Sukadana, Sambas dan daerah-daerah pantai sebelah barat.

Ketiga wilayah teritorial tersebut dikenal sebagai wilayah Kerajaan Banjar, dimana Karang Intan dijadikan sebagai ibukota negara. Semua wilayah yang termasuk dalam teritorial Kerajaan Banjar ini diharuskan membayar upeti kepada Sultan yang berkedudukan di Karang Intan.


Aroma Lada yang Harum


Abad ke-17 itu juga merupakan saat memuncaknya perdagangan lada yang merupakan satu-satunya komoditi ekspor Kerajaan Banjarmasih. Banjarmasih saat itu menjadi bandar dari daerah-daerah penghasil lada terbesar di dunia , dan mampu melayani perdagangan lada internasional. Aktivitas pelayaran dan perdagangan yang dibiayai dengan modal penguasa dan para bangsawan Banjar membuat armadanya mampu melintasi lautan. Mereka berlayar ke pesisir utara Pulau Jawa, Makassar, Lombok, Sumbawa, Batavia, Banten, Brunei sampai ke Aceh, Siam dan Chocin Cina. Para penguasa kemudian berusaha memperoleh tanah garapan yang lebih luas untuk lahan penanaman lada.

'Aroma' lada yang harum dan menggiurkan membuat semua orang terbius ingin memilikinya. Penanaman lada kemudian makin berkembang seiring kedatangan pedagang-pedagang bermodal dari luar yang membawa serta keluarga dan kapa-kapal besarnya. Mereka adalah penduduk bandar-bandar besar di pesisir utara Jawa yang melarikan diri ketika kota-kota itu diserbu oleh pasukan Sultan Agung, dan sebagian lagi berasal dari Johor, Malaka, Aceh, Banten dan Makassar yang lebih dulu datang. Kedatangan para saudagar ini makin menambah ramai iklim perdagangan di Kerajaan Banjarmasih.

Sesudah jatuhnya Makassar dan Banten -berturut-turut tahun 1669 dan 1583- yang melumpuhkan ekonomi mereka sama sekali akibat keserakahan VOC Belanda dalam memberlakukan sistem monopoli perdagangan, Banjarmasih yang terletak di tengah-tengah Kepulauan Nusantara menjadi penyambung urat nadi perdagangan bebas, yang di beberapa bagian Kepulauan Nusantara telah diputuskan oleh hegemoni VOC Belanda.

Kedatangan orang-orang Melayu ke Banjarmasih diperkirakan terjadi jauh sebelum tahun 1526 (yaitu perhitungan masa berdiri dan dibentuknya kerajaan ini oleh Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah). Sejak penolakan Sultan Malaka, Mahmud Syah, terhadap kedatangan orang-orang Portugis di bandar Malaka pada tahun 1509, mulailah merebak benih-benih permusuhan. Lalu ketika kota palabuhan yang ramai itu direbut armada Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque pada tahun 1511, banyaklah penduduk Melayu di Malaka (yang sebagian besar beragama Islam, termasuk saudagar-saudagar asal Gujarat dan tanah Arab) memindahkan kegiatannya ke wilayah-wilayah lain di Nusantara termasuk ke Banjarmasih yang saat itu mayoritas dihuni orang-orang Ngaju, dengan tujuan agar mereka tetap dapat melanjutkan usaha perniagaan mereka secara bebas dan aman sekaligus membendung pengaruh kristenisasi Portugis.

Orang-orang Banjar yang menjadi warga negara Kerajaan Banjar saat itu mempunyai jiwa bahari dan berbakat dagang. Pedagang-pedagang Banjar bergerak dari jual beli eceran hingga ekspor impor. Berlayar dan berniaga menjadi tradisi sampai pada masa Perang Dunia II. Seluruh wilayah Nusantara, bahkan kemudian mencapai negeri Siam dan Chocin Cina mampu diarungi dan disinggahi para pelaut dan pedagang Banjar. Sebaliknya, mereka yang dari luar atau pedagang-pedagang asing pun singgah untuk berniaga di Banjarmasih.

Dengan perahu-perahu layarnya, para pedagang asing Tiongkok, Siam, Joho, Jawa, Palembang, Portugis, Inggris, Belanda datang silih berganti merapat di Bandarmasih untuk berniaga barang-barang komoditi seperti emas, permata, cengkih, lada, pala, champor, kulit buaya, mutiara, rotan, besi dan lain-lain. Sedangkan Banjar mengimpor perhiasan, porselen, garam, gula, tawas dan keperluan sandang untuk penduduknya.

Di antara pedagang-pedagang asing yang memasuki wilayah Kerajaan Banjar, orang-orang Belanda lah yang paling serakah. Bangsa ini memang terkenal dengan pameo 'tuntutan yang banyak tetapi memberi sedikit'. Untuk meraih hak monopoli pada suatu komoditi tertentu maka dilakukannyalah cara-cara yang tidak sehat, yang selalu diakhiri dengan permusuhan dan pertempuran yang saling memusnahkan loji-loji (gudang komoditi sekaligus benteng pertahanan) maupun armada kapal mereka. Hal ini berturut-turut terjadi pada tahun 1638, 1694, dan 1707 M.


Perang dan Akhir Kerajaan Banjar


Silih bergantinya pertikaian dalam keluarga kerajaan ke pertikaian yang lain, kemudian peperangan ke peperangan yang lain terutama dengan bangsa-bangsa asing pendatang dari benua Erofa baik Inggris maupun Belanda, telah membawa kerajaan yang sempat mengalami masa kejayaan pada kurun waktu Abad ke-17 dan ke-18 M ini pada keruntuhannya.

Campur tangan Kompeni Belanda terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam Kerajaan Banjar begitu mengusik perasaan dan memicu ketidak-senangan para elite penghuni istana maupun rakyat dan para pemimpinnya, serta para ulama Banjar. Rakyat dalam Kerajaan Banjar merasakan bahwa dengan adanya penetrasi pihak asing dari bangsa lain serta masuknya agama Nasrani,  maka tradisi lama dan agama Islam akan terancam.

Kekecewaan ini makin mengemuka ketika Belanda menghendaki Pangeran Tamjidillah (cucu Sultan Adam, dan anak oleh Sultan Muda Abdurrahman dari isteri selir seorang Cina) yang menjadi raja, menggantikan Sultan Adam , kakek dari Pangeran Tamjidillah sendiri. Sedangkan Pangeran Hidayatullah yang paling berhak atas tahta Kerajaan Banjar karena lahir dari isteri Sultan Muda Abdurrahman yang berasal dari keturunan raja yaitu Ratu Siti, makin tersisihkan dan tidak diakui hak-haknya.

Hal ini mengakibatkan ketegangan politik yang terus saja meletup-letup, dimulai pada tahun 1852 M sampai tahun 1859 M yang kemudian menyulut api peperangan selama hampir 50 tahun, dan melibatkan sampai tiga generasi keturunan pahlawan-pahlawan perang Banjar. Gerakan perlawanan yang kemudian mencetuskan Perang Banjar merupakan perang yang terbesar dan menyeluruh dalam wilayah Kerajaan Banjarmasin yang meliputi atau sekarang termasuk dalam daerah administratif propinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan sebagian kecil wilayah yang ada di propinsi Kalimantan Timur.
Perang tidak juga berhenti walau Pangeran Antasari kemudian wafat oleh karena faktor usia yang sudah lanjut pada tanggal 11 Oktober 1862 M.

Peperangan berlanjut terus secara sporadis. Para generasi penerus Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin  (Pangeran Antasari)  mendirikan 'Pemerintahan Pegustian' sebagai penerus Kerajaan Banjar di Gunung Bundang - Sungai Laung pada tahun 1863 M. Oleh para pemimpin rakyat dan panglima perang serta kepala-kepala suku Dayak yang ada di pedalaman Barito,  putra-putra Pangeran Antasari -Gusti Muhammad Said dan Gusti Muhammad Seman- diangkat sekaligus sebagai 'panembahan' dan 'sultan'.
Sepeninggal Panembahan Muhammad Said pada tahun 1875, otomatis Sultan Muhammad Seman sendirian yang memimpin Pemerintahan Pegustian dan menjadi raja Kerajaan Banjarmasin terakhir.

Setelah berjuang selama hampir mendekati 50 tahun, Sultan Muhammad Seman gugur sebagai syuhada dalam suatu pertempuran sengit yang terjadi untuk ke sekian kalinya di benteng pertahanan sekaligus pusat pemerintahan Kerajaan Banjarmasin terakhir -di benteng Kalang Barah, Baras Kuning- ketika melawan pasukan korps marsose Belanda pada pertengahan bulan Januari 1905 M.

Bila diurutkan sejak di kraton Kuin sampai kraton Karang Intan dan Kayutangi - Martapura, hingga kraton Manawing di Puruk Cahu  (masa Pemerintahan Pagustian)  serta raja Banjar yang baru saja dinobatkan, maka terdapat lebih dari dua puluh orang raja yang bertahta di Kerajaan Banjarmasin, sebagai berikut :

1. Sultan Suriansyah  (1525 - 1545)
2. Sultan Rakhmatullah  (1545 - 1570)
3. Sultan Hidayatullah  (1570 - 1595)
4. Sultan Musta'inbillah  (1595 - 1620)
5. Sultan Inayatullah  (1620 - 1637)
6. Sultan Sa'idullah  (1637 - 1642)
7. Sultan Tahlilullah  (1642 - 1660)
8. Sultan Arm-Allah  (1661 - 1663)
9. Sultan Surianata  (1663 - 1679)
10. Sultan Amr-Allah Bagus Kesuma  (1680 - 1700)
11. Sultan Tahmidullah  (1700)
12. Sultan Hamidullah  (1700 - 1734)
13. Sultan Tamjidullah  (1734 - 1759)
14. Sultan Muhammad Aminullah  (1759 - 1761)
15. Sultan Sulaiman Sa'idullah  (1762 - 1798)
16. Sultan Sulaiman Rakhmatullah  (1801 - 1825)
17. Sultan Adam Al Wasikh Billah  (1825 - 1857)
18. Sultan Tamjidullah  (1857 - 1859)  versi pemerintah kolonial Belanda.
19. Sultan Hidayatullah  (1860), berdasarkan wasiat S.Adam, dan versi rakyat Banjar.
20. Panembahan Amirudin Khalifatul Mukminin atau Pangeran Antasari  (1860 - 1862)
21. Panembahan Muhammad Said  (1863 - 1875)
22. Sultan Muhammad Seman  (1863 - 1905)
24. Gusti (Pangeran) Muhammada Arsyad  ( 1905 -      )
25. Sultan Muda Pangeran Haji Khairul Saleh  (2010 -    ).


Masjid Jami Sungai Jingah (Masjid Jami Banjarmasin), pengganti masjid jami pertama yang berada di tepian Sungai Martapura, tepatnya di Taluk Masigit. (Gambar: koleksi pribadi).


Menarik disini untuk dicermati, bahwa sebenarnya Kerajaan Banjar(masin) masih tetap eksis sampai tahun 1906, yaitu ketika putera almarhum Sultan Muhammad Seman dari isteri beliau yang berasal dari Martapura bernama Nyai Mariamah; Gusti Berakit, mengambil alih kepemimpinan clan bubuhan Panembahan Antasari yang ada di daerah Tanah Dusun, dan sekaligus memimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, sampai beliau dipaksa menyerah kalah pada tahun itu, tepatnya tanggal 6 Agustus 1906. (Lihat Helius Sjamsuddin; Pegustian dan Temenggung, Balai Pustaka, hal.460).

Bahkan bila ditelusuri lebih jauh lagi sampai kepada masa pengasingan Gusti Muhammad Arsyad ke Buitenzorg, sebenarnya eksistensi Kerajaan Banjarmasin masih ada tetapi oleh pemerintah Hindia Belanda hal ini sengaja ditutup-tutupi. Politik pemerintah kolonial memang tidak menghendaki lagi eksisnya kesultanan ini, apalagi bila mereka mengingat besarnya dana yang harus dikeluarkan untuk mengongkosi peperangan dalam kurun waktu yang sangat lama; 1859 sampai tahun 1906.

Seandainya, sekali lagi seandainya; Ir. Gusti Muhammad Noor yang oleh para kerabat Pegustian pada masa beliau hidup dulu pernah dianugerahi gelar kebangsawanan Banjar;  pangeran,  menjadi Pangeran Muhammad Noor, bersedia mengangkat lagi 'batang nang lawas tarandam',  mungkin rentang waktu sekian puluh tahun dalam periodesasi yang kosong sampai masa pengangkatan Raja Muda Kerajaan Banjar(masin),  Pangeran Khairul Saleh, tidak akan terjadi. Artinya, dari satu kurun waktu ke kurun waktu selanjutnya tidak ada kekosongan. Itulah sejarah.

Itulah juga yang terjadi  sekarang. Kini, status sebagai raja muda yang disandang Pangeran Khairul Saleh telah berubah menjadi raja penuh Kesultanan Banjar. Beliau memperoleh nama lengkap Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah. Dan bertepatan dengan milad ke 509 Kesultanan Banjar pada hari Sabtu tanggal 16 November 2013, oleh para raja dan sultan se-Borneo, Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah diamanati sebagai sekretaris jenderal Kerapatan Raja Sultan se Borneo untuk masa tiga tahun ke depan dengan menyandang gelar kehormatan sebagai Yang Di Pertuan Agung. 



Catatan


Kepustakaan

Senin, 08 November 2010

SEJARAH ORANG-ORANG BANJAR DI PULAU LOMBOK DAN SUMBAWA




" Desa punika rinujak pirang, tahun prandane nora sirik, Sang Prabu Lombok hangutus, ngundang prajurit Banjar, sampun kondang roro prajurit kang kasub, haran Pelo Sutrabaya, saren lan wong Selakawis ".  (Kutipan dari Babad Lombok; Puh Pangkur, nomor 982)



Saat pertama kali menginjak Pulau Lombok, kesan pertama yang muncul dan saya rasakan adalah pulau gersang dan panas menyengat. Begitu pun ketika memasuki kota-kota yang ada disana seperti Mataram, Ampenan, serta Cakranegara,  ada aroma dan bau kotoran kuda yang merasuk ke indra penciuman. Sungguh pun kemudian ciri khas sebagai daerah tujuan wisata unggulan setelah Pulau Bali, mulai terasa. Apalagi ketika memasuki kawasan Pantai Senggigi yang elok dan eksotis. Kesan sebagai daerah yang gersang pun berangsur-angsur menghilang saat langkah kaki membawa badan ini memasuki kawasan pemukiman, yang oleh penduduk setempat disebut Kampung Banjar. Mayoritas penduduknya memang adalah warga suku Banjar yang berasal dari Banjarmasin atau wilayah lain di Propinsi Kalimantan Selatan sekarang.

Kampung Banjar terletak di kawasan kota Mataram. Kota Mataram ( yang menjadi ibukota Propinsi Nusa Tenggara Barat) terbagi dalam tiga wilayah: masing-maasing Ampenan sebagai pusat perniagaan lama, kemudian Mataram sebagai pusat pemerintahan dan Cakranegara yang dijadikan sebagai  kawasan baru untuk perniagaan.

Menurut Drs.H. Lalu Mudjitahid, orang-orang Banajar di Pulau Lombok adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah kota Mataram, yang notabene dahulunya merupakan sebuah kerajaan yang berpengaruh di kawasan itu. Berkecamuknya peperangan antara kerajaan orang Bali yang ada di Pulau Lombok dengan kerajaan milik penduduk asli Pulau Lombok mengharuskan orang-orang Banjar ikut berperang dan berpihak pada kerajaan setempat milik orang Lombok.

Menurut keterangan, sejak masa itulah peranan orang orang dari suku Banjar di Bumi Selaparang dimulai. Hanya saja tidak jelas, sejak tahun berapa masyarakat Banjar melakukan eksodus ke Pulau Lombok untuk membantu pihak kerajaan milik orang-orang suku Sasak itu.

Bila berpatokan pada tahun berdirinya Masjid Banjar di Kampung Banjar-Ampenan yang berangka tahun 1916, maka diperkirakan kedatangan orang-orang Banjar ke Pulau Lombok sudah dilakukan sebelum itu. Artinya orang-orang Banjar kemungkinan besar sudah ada disana jauh sebelum tahun 1900-an.
Hal ini diperkuat perkataan pejabat Pemda Nusa Tenggara Barat di atas, bahwa orang-orang Banjar sangat erat kaitannya dengan sejarah kota Mataram.  Bukti lain adalah keterangan dari beberapa naskah lama, baik yang ada di Kalimantan -khususnya Banjarmasin- hasil gubahan para pujangga lama kita semisal Tutur Candi atau Hikayat Lambung Mangkurat yang memuat riwayat tentang sejarah Raja-raja Banjar dan Kotawaringin, maupun yang ada di Pulau Lombok sendiri seperti Babad Selaparang dan Babad Lombok.
Naskah-naskah lama tersebut ada menyinggung tentang keberadaan orang-orang Banjar disana, jauh sebelum tahun 1900-an.

Dalam Hikayat Lambung Mangkurat (pada bagian yang menceritakan tentang sejarah raja-raja Banjar dan Kotawaringin) disebutkan adanya hubungan perkawinan antara kerabat Kerajaan Banjar bernama Raden Subangsa (yang di kemudian hari, sesudah lama menetap di Pulau Lombok diberi gelar Pangeran Taliwang) dengan puteri dari raja Kerajaan Selaparang Islam bernama Mas Surabaya. Yang mana dari hasil perkawinan ini menurunkan seorang anak laki-laki dan diberi nama Raden Mataram.
Sedangkan perkawinan Raden Subangsa dengan puteri raja Kerajaan Selaparang Islam yang menetap di Pulau Sumbawa, yaitu Mas Penghulu, melahirkan anak laki-laki juga, yang kemudian diberi nama Raden Bantan.

Siapakah sebenarnya Raden Subangsa?  Raden Subangsa adalah cucu dari Marhum Panembahan, atau bersaudara lain ibu dengan Pangeran Singamarta (Pangeran Singamarta sendiri adalah anak oleh Ratu Hayu yang merupakan adik perempuan dari Ratu Anom atau Sultan Saidullah), dengan kata lain Ratu Hayu adalah anak perempuan penghabisan dari Marhum Panembahan.
Masa hidup Raden Subangsa adalah dalam masa pemerintahan Sultan Ri'ayatullah atau Sultan Tahlilullah atau dengan sebutan yang lebih terkenal sebagai Pangeran Ratu, yang memerintah antara tahun 1642 sampai 1660 Masehi.
Raden Subangsa sendiri, yang di kemudian hari sesudah lama menetap di Kerajaan Selaparang sepeninggal isterinya yang terdahulu (Mas Surabaya), menikah lagi dengan Puteri Mas Penghulu kemudian bergelar Pangeran Taliwang, seperti diterangkan di atas. Dari keturunan Raden Subangsa-lah kemungkinan besar salah satu penyumbang banyaknya orang-orang Banjar di Provinsi NTB sekarang.

Kemungkinan ada benarnya apa yang dikatakan Prof.Dr.Sumarsono (Dekan Pasca Sarjana Universitas Udayana - Bali) bahwa; dalam cerita rakyat Bima disebutkan asal usul raja-rajanya (Kerajaan Bima maksudnya; tambahan Penulis) adalah dari tanah Banjar. (Sumarsono, dalam 'Urang Banjar dan Kebudayaannya', 2005:238)

Kembali pada keterangan Drs.H.Lalu Mudjitahid (pernah menjabat sebagai Bupati KDH. Kab. Lombok Barat) dan dikaitkan dengan penjelasan tertulis yang ditemukan dalam Babad Lombok, disebutkan; hubungan Kerajaan Banjarmasin dengan Kerajaan Selaparang Islam terjadi ketika raja Kerajaan Selaparang Islam meminta bantuan kepada Kerajaan Banjarmasin (lihat kutipan pada awal tulisan ini).

Kerajaan Banjarmasin kemudian mengirimkan dua orang pembesarnya bernama Patih Sutrabaya (Sudarbaya ?) dan Patih Pelo ke Pulau Lombok untuk membantu Kerajaan Selaparang yang saat itu sedang memerangi Arya Banjar Getas, yaitu pimpinan kerajaan kecil (di Pulau Lombok disebut 'kedatuan') Banjar Getas yang berpusat di wilayah Mamela, kurang lebih di sebelah utara kota Praya sekarang.
Kedatuan Banjar Getas dapat dikalahkan, tetapi pemimpinnya; Arya Banjar Getas beserta beberapa pengiringnya mampu meloloskan diri, dan mereka berlindung di Kerajaan Pejanggik.
Setelah peperangan itu, Kerajaan Selaparang Islam yang membawahi seluruh kedatuan Sokong, Bayan, Sasak Langu, Pejanggik, Suradadi dan Parwa, menjadi aman dan masyhur ke seluruh pelosok wilayah Nusantara pada sekitar abad ke-17.

Hanya saja di dalam Babad Lombok tidak disebutkan, apakah setelah selesai peperangan antara Kerajaan Selaparang dengan Banjar Getas, para prajurit Kerajaan Banjarmasin yang dipimpin Patih Sutrabaya dan Patih Pelo itu pulang kembali ke negeri Banjar atau kah terus menetap di Pulau Lombok.
Bila pilihan para bangsawan Banjar tersebut adalah yang terakhir, maka ada kemungkinan merekalah para pioner orang-orang Banjar sekarang yang menetap di kota Ampenan, Mataram, Cakranegara dan tempat-tempat lain di Pulau Lombok dan Sumbawa.

Drs. H. Harun Al Rasyid (pernah menjabat sebagai gubernur kepala daerah provinsi Nusa Tenggara Barat) dalam suatu kesempatan pernah memberikan pernyataan, bahwa para pendahulu dari Banjar -yang menetap dan telah menurunkan zuriat atau orang-orang Banjar yang ada di NTB sekarang- ini ikut menyebarkan agama Islam selain di Pulau Lombok juga ke Pulau Bali, khususnya ke wilayah Kerajaan Karang Asem dan Kerajaan Klungkung di Pulau Bali tempo dulu, seperti yang disebutkan (terpaparkan) pada transkripsi Babad Lombok.


Babad Selaparang


Ada pun sumber tertulis lainnya selain Babad Lombok adalah Babad Selaparang.  Babad Selaparang ditulis dalam bentuk tembang macapat berbahasa dan beraksara Sasak - Lombok.  Menilik definisi 'babad'  yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia;  Babad Selaparang dapat dikategorikan sebagai babad dalam arti yang sebenarnya.  Hal ini didasarkan pada hasil temuan isi Babad Selaparang,  yaitu memuat tentang riwayat atau sejarah keberadaan Kerajaan Selaparang yang ada di Pulau Lombok.
Dalam Babad Selaparang ada mengisahkan beberapa peristiwa yang terjadi di wilayah Kerajaan Selaparang-Lombok, yang saat itu diperintah oleh Prabu Kertabumi, dengan dibantu oleh seorang patih yang bernama Arya Banjar Getas.

Berbeda dengan Babad Lombok, Babad Selaparang dalam hal memberikan keterangan tentang asal mula keberadaan orang-orang Banjar yang ada di Pulau Lombok dan Sumbawa sangat sedikit sekali.  Babad Selaparang sama sekali tidak menyinggungnya, apalagi menyebutkan secara rinci mengenai tahun maupun bulan berkenaan dengan permintaan dari penguasa Kerajaan Selaparang-Lombok,  Prabu Kertabumi, kepada Kerajaan Banjarmasin agar mengirimkan bantuan balatentara sebagai tambahan kekuatan untuk menumpas pemberontakan yang terjadi dalam wilayah Kerajaan Selaparang yang dilakukan oleh patihnya sendiri bernama Arya Banjar Getas, diluluskan oleh penguasa Kerajaan Banjarmasin dengan mengirimkan dua orang pembesarnya yang berpangkat patih, yaitu Patih Silo dan Patih Laga beserta sejumlah anggota pasukan pilihan.

Disini, antara Babad Lombok dan Babad Selaparang ada kesamaan dalam hal menerangkan perutusan yang diminta dan dikirim oleh masing-masing kerajaan. Walau pun detail nama person (orang) yang bersangkutan agak berbeda. Hal ini mungkin akibat perbedaan penulis babad itu sendiri . Penulis Babad Lombok menyebut Patih Sutrabaya dan Patih Pelo, sedangkan Babad Selaparang menyebutnya Patih Silo dan Patih Laga.

Dikaitkan dengan keterangan tentang asal mula kedatangan orang-orang Banjar di Pulau Lombok, sumber lain ada menyebutkan bahwa orang-orang Banjar ternyata sudah lebih dulu ada jauh sebelum kedatangan kedua pembesar Kerajaan Banjarmasin beserta anggota pasukan mereka.

Sumber itu menyebutkan bahwa Arya Banjar merupakan keturunan bangsawan Kerajaan Banjarmasin yang lebih dahulu dan telah lama menetap di Pulau Lombok. yang mana dalam catatan Babad Lombok, Arya Banjar ini sebelum menjabat sebagai patih Kerajaan Selaparang sudah lebih dulu mempunyai wilayah pemerintahan sendiri berupa kerajaan kecil (kedatuan) Banjar Getas.

Itulah mungkin sebabnya mengapa Arya Banjar Getas (untuk menyebut nama pemimpin Kedatuan Banjar Getas) begitu beraninya 'ba-ulah idabul' atau melakukan pemberontakan terhadap atasannya sendiri Prabu Kertabumi, raja Kerajaan Selaparang Islam.

Jadi, mungkin wajar-wajar saja bagi penguasa asli kerajaan di Pulau lombok  -Prabu Kertabumi-  untuk meminta bantuan kepada Kerajaan Banjarmasin demi memadamkan pemberontakan yang dilakukan Arya Banjar Getas, yang ternyata masih kental darah Banjar-nya.  Dan adalah wajar pula bila Prabu Kertabumi kemudian membalas budi baik pada Kerajaan Banjarmasin dengan cara memberikan lahan pemukiman sabagai tempat menetapnya prajurit-prajurit Banjar yang tidak sedikit jumlahnya beserta para pembesar Kerajaan Banjarmasin yang berkeinginan menetap di Pulau Lombok karena enggan pulang ke Banua.


Kampung Banjar dan Kampung Melayu di kota Mataram
.............


Pengaruh Budaya Banjar dalam Budaya Sasak

.............


bersambung ..................................




Catatan

Kepustakaan


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Top WordPress Themes