Tidak banyak sumber tertulis di Banua yang memuat informasi lengkap dan mendetail mengenai sosok dan sepak terjang pejuang wanita berdarah bangsawan Banjar, puteri dari Sultan Muhammad Seman atau raja terakhir Kerajaan Banjar yang bertahta di Kraton Baras Kuning - Menawing, Hulu Barito, dalam kiprahnya ketika melakukan perlawanan terhadap pihak kolonial Belanda di wilayah Dusun Hulu (Propinsi Kalimantan Tengah sekarang) yang dahulu merupakan teritorial Kerajaan Banjar.
Akibat keterbatasan sumber tertulis yang akan dijadikan referensi untuk tulisan mengenai sosok dan perjuangan Ratu Jaleha, berakibat terkatung-katungnya rencana pemuatan tulisan ini dalam blog saya; Suluh Banjar.
Untungnya , ketika Penulis bersilaturahim dan melakukan wawancara dengan Ibu Hajjah Gusti Hindun pada hari Senin tanggal 26 September 2011 di tempat kediaman Beliau, Penulis diperlihatkan beberapa lembar foto lama dan langka serta dua lembar kertas foto copy-an berisi tulisan tentang sosok Ratu Jaleha yang ditulis oleh Drs.H.Yustan Aziddin (salah satu tokoh pers Kalimantan Selatan dan pemilik surat kabar harian Banjarmasin Post). Gambar di atas, yang dijadikan pembuka tulisan ini adalah pemberian dari Ibu Hajjah Gusti Hindun, yang diambil/di-reproduksi dari artikel Banjarmasin Post tersebut. Gambar/photo asli sudah tidak diketahui lagi rimbanya. Maka sangat beruntung, kita generasi muda Banjar masih dapat melihat photo yang ada ini.
Sebelum meneruskan tulisan tentang Ratu Jaleha lebih jauh lagi, ada baiknya Penulis singgung serba sedikit mengenai Ibu Hajjah Gusti Hindun. Beliau adalah cicit langsung oleh pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Kalimantan Selatan, Pangeran Antasari. Sebagaimana tradisi dalam lingkup aristokrat Banjar, gelar 'gusti' diperoleh karena faktor keturunan dari ayahnda beliau, yakni Gusti Muhammad Arsyad bin Panembahan Muhammad Said bin Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran Antasari. Gusti Hindun adalah (salah satu) puteri Gusti Muhammad Arsyad dari salah satu isteri beliau yang seorang perempuan bangsawan Banjar juga.
Kelahiran Srikandi Perang Banjar
Opensif pasukan Hindia Belanda yang terus menerus (Pengaron berhasil direbut tentara Belanda, Februari 1860 menyusul wilayah Amuntai --yang oleh Pangeran Hidayatullah rencananya akan dijadikan 'Martapura Baru' alias kraton pengganti setelah kraton di Martapura dibakar habis atau dibumihanguskan oleh Belanda) membuat Pangeran Antasari beserta seluruh anggota keluarga dan kerabat Kerajaan Banjar yang menolak tunduk kepada residen Banjarmasin, mundur dan melakukan long march ke Tanah Dusun di pedalaman Barito.
Di wilayah Tanah Dusun beliau tinggal menetap dengan kerabat dekat istrinya yang berdarah Dayak Siang-Murung bernama Temenggung Surapati, pemimpin kharismatik suku Dayak Siang-Murung yang sangat disegani oleh lawan maupun kawan sesama suku Dayak di seluruh daerah Barito, Siang dan Murung, bahkan sampai ke wilayah Mahakam (Hulu), suatu wilayah yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Kutai, serta sebagian wilayah yang sekarang menjadi provinsi Kalimantan Barat.
Ikatan perkawinan antara pangeran-pangeran dari kalangan bangsawan Banjar dengan puteri-puteri dari para pemimpin Dayak terkemuka memang lazim dilakukan, dan hal ini berlangsung sejak awal terbentuknya dinasti raja-raja Banjarmasin. Dari perkawinan Pangeran Antasari dengan kerabat dekat (ada yang menyebut adik dari) Temenggung Surapati bernama Nyai Fatimah melahirkan seorang anak lelaki bernama Gusti Muhammad Seman atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gusti Mat Seman.
Tahun kelahiran Gusti Mat Seman diperkirakan sekitar tahun 1897, masa-masa dimana tentara Kompeni Belanda sedang gencar-gencarnya berusaha mematahkan dan melumpuhkan perlawanan orang-orang Banjar.
Selama perlawanan berlangsung dan setelah Pangeran Antasari wafat oleh sebab usia tua (bukan tewas atau tertangkap tentara Belanda) pada tanggal 11 Oktober 1862 di Bayan Begok - Sampirang di hulu Sungai Teweh, peperangan dilanjutkan oleh kedua putera beliau ; kakak beradik lain ibu, Gusti Muhammad Said dan Gusti Muhammad Seman. Keduanya kemudian diangkat oleh para bangsawan Kerajaan Banjar dan pemuka-pemuka perang suku Dayak (Bakumpai, Ngaju, Siang - Murung, Ot Danum) sebagai penerus dan yang berhak atas takhta Kerajaan Banjar yang disebut dengan Pemerintahan Pegustian. Gusti Muhammad Said menjadi Panembahan Muhammad Said, memerintah didampingi oleh Gusti Muhammad Seman yang menjabat sebagai sultan; Sultan Muhammad Seman.
Ketika Panembahan Muhammad Said meninggal dunia akibat terjangkit wabah penyakit cacar yang melanda wilayah pedalaman Tanah Dusun sekitar tahun 1875, Pemerintahan Pegustian yang berpusat di daerah Sungai Menawing dengan beribu-kota di Baras Kuning --(tempat ini lebih tepat disebut semacam miniatur dari Kesultanan Banjarmasin karena disinilah disimpan benda-benda pusaka kerajaan)-- seterusnya dipimpin oleh Sultan Muhammad Seman dengan didampingi beberapa kerabatnya yang terkemuka, terutama putera-putera almarhum Panembahan Muhammad Said seperti Pangeran Perbatasari (Gusti Muhammad Tarip), Pangeran Prabu Anom (Gusti Abdullah), Gusti Muhammad Arsyad.
Di lembah Sungai Barito, tepatnya di daerah Muara Laung yang relatif lebih aman dan jauh dari kontrol pasukan Belanda, istri Sultan Muhammad Seman yang bernama Nyai Salmah melahirkan seorang anak perempuan, yang kemudian diberi nama Gusti Jaleha, pada kurang lebih tahun 1880. Peristiwa kelahiran ini hanya mampu dirayakan secara sederhana karena Pemerintahan Pegustian masih dalam kondisi berperang dengan Belanda. Tetapi Sultan Muhammad Seman tetap mengundang para kerabat dekatnya -para gusti maupun pembesar suku Dayak yang ada di daerah Dususn Hulu dalam upacara pemberian nama bagi anak perempuannya yang kedua ini.
Selanjutnya Gusti Jaleha tubuh besar dan dewasa dalam tempaan suasana peperangan. Bersama-sama dengan saudara-saudaranya se-ayah (Pangeran Banjarmas dan Gusti Dijah; dari istri Sultan Muhammad Seman yang bernama Nyai Banun. Gusti Berakit atau Gusti Berkek; yang lahir dari istri Sultan Muhammad Seman bernama Nyai Mariamah) maupun dengan saudara-saudara sepupunya; Pangeran Perbatasari, Pangeran Prabu Anom, dan Gusti Muhammad Arsyad, ia mewarisi semangat kepahlawanan langsung dari ayahanda maupun kakeknya. Di usia yang relatif muda, Gusti jaleha dinikahkan oleh Sultan Muhammad Seman dengan saudara sepupunya, Gusti Muhammad Arsyad, putera bungsu Panembahan Muhammad Said.
Menarik disini untuk dicermati tentang kedudukan atau posisi Gusti Muhammad Arsyad yang ternyata sangat menonjol dalam pandangan Sultan Muhammad Seman, mertua sekaligus pamandanya sendiri. Setelah kematian kakaknya -Gusti Abdullah atau Pangeran Prabu Anom- dalam suatu pertempuran yang sengit di Benteng Manduruian pada tahun 1883 (lebih lengkap, baca artikel lain dalam blog ini: PERAN SNOUCK HURGRONYE DAN PEJUANG-PEJUANG ACEH DALAM PERANG BANJAR), dan kakaknya yang tertua -Gusti Muhammad Tarip atau Pangeran Perbatasari- tertangkap*) oleh tentara Belanda di wilayah Kerajaan Kutai dan kemudian diasingkan ke Tondano pada tahu 1885, Gusti Muhammad Arsyad menjadi keturunan satu-satunya dari Panembahan Muhammad Said yang mempunyai hak untuk menjadi seorang 'panembahan' menggantikan kedudukan Panembahan Muhammad Said -ayahandanya sendiri, yang telah wafat- yang telah lama lowong.. Kedudukan Gusti Muhammad Arsyad menjadi lebih kuat lagi setelah ia menikah dengan saudara sepupunya sendiri; Gusti Jaleha.
Dengan tempaan dari dua orang sosok lelaki tangguh -Sultan Muhammad Seman; ayahandanya sendiri, dan Gusti Muhammad Arsyad; saudara sepupu sekaligus yang menjadi suaminya- Gusti Jaleha menjadi pribadi wanita yang 'tahan apilan'. Sekitar bulan Januari 1905, dalam suatu pertempuran hidup mati di Kalang Barah-Sungai Menawing di lembah Sungai Barito melawan sepasukan tentara marsose yang sangat efisien dan berpengalaman dalam medan pertempuran pada masa Perang Aceh, dan sama-sama dipimpin oleh komandan bernama Letnan Hans Christoffel (menjabat sebagai residen sipil dan militer Hindia Belanda untukwilayah Puruk Cahu sejak tanggal 1 Januari 1905), ayahandanya -Sultan Muhammad Seman- gugur bersama beberapa pengikutnya.
Setelah pertempuran berdarah di Kalang Barah yang berujung dengan gugurnya Sultan Muhammad Seman, anggota-anggota Pemerintahan Pegustian sama-sama saling berpencar untuk menyelamatkan diri demi menghindar dari kejaran pasukan tentara marssssose Belanda, sekaligus menyusun rencana baru untuk nantinya balik menyerang pada kesempatan yang lain.
Satu kelompok di bawah pimpinan Antung Kuwing (nama lain dari Gusti Iskandar; putera dari Pangeran Perbatasari bin Panembahan Muhammad Said dengan Gusti Dijah) menyelamatkan diri ke daerah Barito Hulu, tepatnya sekitar wilayah Tumbang Kucu atau di wilayah Muara Sungai Bubuat. Sedangkan satu kelompok lagi berada di bawah pimpinan Gusti Berakit (Gusti Berkek), putera dari Sultan Muhammad Seman dari isteri beliau yang bernama Nyai Mariamah. Di kelompok inilah Gusti Jaleha bergabung, termasuk juga didalamnya adalah ibunda Gusti Jaleha bernama Nyai Salmah dan sebagian besar anggota-anggota wanita Pegustian, antara lain; Antung Pracang, Gusti Sarehat, Nyai Juntai (nama lain dari Nyai Mariamah), Nyai Banun, Gusti Intan, Gusti lantih.
Ikut juga bergabung dalam pasukan Gusti Berakit dan Gusti Jaleha ini Panglima Amir (Panglima Aceh) dan panglima Usup (tentara atau veteran pejuang asal Kerajaan Aceh yang bergabung dan sangat aktif mendukung Pemerintahan Pegustian) serta pejuang-pejuang lain asal suku Dayak Siang Murung, terutama generasi kedua dan ketiga dari Temenggung Surapati.
Dengan berat hati, dan mata yang terus saja sembap oleh genangan airmata kesedihan akibat kematian yang mengenaskan dari Sultan Muhammad Seman (ini merupakan kejadian ke sekian kali yang terberat dialami Gusti Jaleha setelah peristiwa pengasingan suaminya -Gusti Muhammad Arsyad- ke Batavia, kemudian ke Buitenzorg/Bogor, oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1904, dan penangkapan/pengasingan Pangeran Perbatasari ke Tondano sebelum itu), Gusti Jaleha beserta pasukannya melakukan gerakan memutar untuk menjauhi desa Kalang Barah yang telah porak poranda akibat dibumihanguskan oleh pasukan marsose.
Dari sungai Menawing pasukan Gusti Berakit dan Gusti Jaleha melakukan perjalanan panjang dan sangat menguras tenaga ke arah sungai Lahey, lalu diteruskan ke Mea; sebuah perkampungan yang terletak di tepi Sungai Barito tepatnya di daerah Teweh Hulu. Tempat ini dipilih karena kondisi perkampungannya relatif lebih aman disebabkan letaknya yang terisolir dan sangat sulit didatangi bagi orang-orang luar yang belum terlalu menggenal betul kondisi wilayahnya.
Manuver yang terus menerus oleh Letnan Hans Christoffel beserta anggota pasukan marsosenya yang sangat berpengalaman dalam beberapa kali peperangan besar di Nusantara semisal perang di Aceh, yang waktunya hampir berdekatan dengan perang di wilayah Kerajaan Banjar, memaksa mereka menaklukkan belantara lebat Kalimantan yang tak bersahabat, dan kondisinya hampir sama persis dengan hutan-hutan di Aceh/Sumatera sehingga akhirnya mampu menjejakkan kaki mereka di Teweh Hulu, tidak jauh dari Mea tempat persembunyian pasukan Gusti Berakit dan Gusti Jaleha.
Keesokan harinya sekitar bulan Juni 1905, pasukan marsose memblokade ...............................
bersambung .............................
- *) Menurut catatan Amir Hasan Kiai Bondan dalam 'Suluh Sejarah Kalimantan', halaman 73 dikatakan; "1885 Dalam perkelahian di Pahu (Kutai) Pangeran Perbatasari menantu Gusti Mat Seman tertangkap serta diasingkan di Tondano".
- *) Sedangkan Helius Sjamsuddin dalam 'Pegustian dan Temenggung', halaman 325 dan seterusnya mengatakan, " ............ Perbatasari dan orang-orangnya dengan mudah tetapi 'secara khianat' ditangkap atas perintah Sultan Kutai dan mereka kemudian diserahkan kepada Asisten Residen Tromp".
Sumber Bacaan dan Kepustakaan