Dengan kekuatan sebanyak itu, wajar bila kemudian Banjarmasih mampu membendung pengaruh Tuban, Arosbaya, maupun kekuatan yang lebih besar lagi seperti Mataram yang bermaksud 'menggantikan' dominasi Demak. Mungkin itu pula sebabnya mengapa kerajaan-kerajaan Tanah Bumbu dan Pagatan, Pulau Laut, Kerasikan, Paser, Berau, Kutai di pantai timur, Kotawaringin maupun Landak, Sukadana dan Sambas di belahan tengah dan barat pulau Kalimantan mengakui pertuanan Kerajaan Banjarmasih.
Abad ke-17 itu juga merupakan saat memuncaknya perdagangan lada yang merupakan satu-satunya komoditi ekspor Kerajaan Banjarmasih. Aktivitas pelayaran dan perdagangan yang dibiayai dengan modal penguasa dan para bangsawan Banjar membuat armadanya mampu melintasi lautan sampai ke Aceh dan Chocin Cina. Para penguasa berusaha memperoleh tanah garapan yang lebih luas lagi untuk lahan peneneman lada.
Penanaman lada ini makin berkembang seiring kedatangan pedagang-pedagang bermodal dari luar pulau seperti Melayu dan Jawa yang membawa serta keluarga dan kapal-kapal besar. Mereka adalah penduduk bandar-bandar besar di pesisir utara pulau Jawa yang melarikan diri ketika kota-kota mereka diserbu oleh laskar-laskar Sultan Agung dari Mataram. Kedatangan para saudagar Melayu dan Jawa ini makin menambah ramai iklim perdagangan di Kerajaan Banjarmasih saat itu.
Dengan perahu-perahu layarnya, para pedagang asing dari Tiongkok, Siam, Johor, Palembang, Portugis, Inggris, Belanda datang silih berganti merapat di bandar ini untuk berniaga barang-barang komoditi seperti emas, permata, cengkih, lada, pala, champor, kulit buaya, muntiara, rotan, besi dan lain-lain. Sedangkan Banjar mengimpor perhiasan, porselen, garam, gula, tawas dan keperluan sandang untuk penduduknya.
JEJAK SEJARAH dan BUDAYA
Sepanjang daerah tepian sungai Martapura sampai ke Kampung Kuin merupakan wilayah kota lama Banjarmasin jauh sebelum berdatangannya bangsa-bangsa Erofa. Jejak-jejak sebagai kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan, kegiatan pelayaran dan perdagangan orang-orang Banjar tempo dulu masih meninggalkan sisa berupa bangunan-bangunan tua berasitektur tradisional 'rumah Banjar' yang berserakan di sepanjang tepi sungai, baik yang masih utuh, setengah ambruk ataupun yang hanya tinggal bekas-bekasnya saja lagi, dengan mudah dapat ditemukan.
Begitu juga tempat-tempat bersejarah seperti makam tokoh penyebar agama Islam 'Syekh Surgi MUfti' yang berada di Kampung Surgi Mufti. Makam pahlawan-pahlawan yang terkenal pada masa berkecamuknya Perang Banjarmasin, termasuk makam pahlawan nasional pencetus Perang Banjarmasin di tahun 1859-1905,Pangeran Antasari, yang semula berada di Muara Teweh - Kalimantan Tengah, kini dimakamkan di lokasi khusus tidak jauh dari Mesjid Jami - Banjarmasin. Selain itu ada juga masjid peninggalan raja Kesultanan Islam Banjarmasin pertama 'Masjid Sultan Suriansyah' dan komplek pemakaman dinasti Raja-raja Islam Banjarmasin di Kampung Kuin.
Sayangnya, bentuk fisik bangunan peninggalan bersejarah bekas kraton Banjarmasin pertama di Kampung Kuin yang diperkirakan sudah berdiri sejak tahun 1526 M, sulit ditemukan secara utuh, kecuali komplek pemakaman dan masjid kerajaan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari beberapa kali peristiwa kelabu yang menimpa kraton Banjar saat itu. Misalnya akibat yang dialami setelah penyerbuan armada kapal perang VOC Belanda pada tahun 1612 yang meluluh-lantakkan dan membakar habis Kraton Banjarmasih.
Di tahun 1612 itu Belanda mengirimkan armada kapal perangnya yaitu de Hzewind, de Brack, de Halve Maan dan Klein van de Veer untuk menyerang Banjarmasih.
Lalu pada tahun 1677, kraton yang menjadi kediaman Pangeran Adipati Anom - sultan Banjar ke sembilan, kembali rata dengan tanah akibat penyerbuan orang-orang Melayu dan Bugis. Peristiwa yang sama terjadi lagi 24 tahun kemudian, kembali bumi Banjar memerah oleh api peperangan yang disulut Inggris pada tahun 1701 sehigga memporak-porandakan kraton Banjarmasih.
Peristiwa-peristiwa penyerbuan dan peperangan dengan bangsa asing itulah yang akhirnya menghapus jejak sejarah keberadaan kraton Banjar di Kampung Kuin hampir tanpa bekas sama sekali, baik yang ada di Kampung Kuin - Banjarmasin, maupun di Karang Intan dan Kayutangi - Martapura. Jejak salah satu kerajaan maritim terbesar dan terkuat di kawasan tengah Nusantara pada permulaan Abad ke-17.
.................................. ..............................
Bila diurutkan sejak di Kraton Kuin - Banjarmasin sampai di Kraton Karang Intan dan Kayutangi di Martapura, terdapat kurang lebih 20-an orang raja-raja yang memerintah dan bertahta di Kesultanan Banjarmasin. Mereka adalah :
1. Sultan Suriansyah (1526 - 1545)
2. Sultan Rakhmatullah (1545 - 1570)
3. Sultan Hidayatullah (1570 - 1595)
4. Sultan Mustainbillah (1595 - 1620)
5. Sultan Inayatullah (1620 - 1637)
6. Sultan Saidullah (1637 - 1642)
7. Sultan Tahlilullah (1642 - 1660)
8. Sultan Arm-Allah (1660 - 1663)
9. Sultan Surianata (1663 - 1679)
10.SultanAmr-Allah Bagus Kesuma (1680 - 1700)
11.Sultan Tahmidullah (1700 )
12.Sultan Hamidullah (1700 - 1734)
13.Sultan Tamjidullah (1734 - 1759)
14.Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1759 - 1761)
15.Sultan Sulaiman Saidullah (1761 - 1798)
16.Sultan Sulaiman Rakhmatullah (1801 - 1825)
17.Sultan Adam Al-Wasik Billah (1825 - 1857)
18a.Sultan Hidayatullah (1857 - 1862)
18b.Sultan Tamjidullah II (versi VOC Belanda) (1857 - 1859)
19.Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) (18.. - 1862)
20.Panembahan Muhammad Said ( ........
21.Sultan Muhammad Seman (1865 - 1905)
Ada beberapa versi dari banyak penulis sejarah mengenai urutan raja-raja Kesultanan Banjarmasin ini. Bila mengikuti versi sejarawan Banjar, setelah Sultan Aliuddin Aminullah wafat, maka pamandanya -Sultan Tamjidullah- naik tahta lagi,sekaligus sebagai wali untuk putra mahkota dari faja yang wafat.
Beberapa tahun setelah itu, ia digantikan anaknya yang di masa mudanya bernama Pangeran Natanegara atau Pangeran Natadilaga, yang mana setelah manjadi raja mempunyai banyak gelar atau sebutan sesuai zaman atau masa ia memerintah, antara lain; Susuhunan Nata Alam, Sultan Sulaiman Saidullah atau Sultan Tahmidullah II, Panembahan Batu, Panembahan Anum. Menurut M.Idwar Saleh, yang paling terkenal dari nama-nama itu adalah Susuhunan Nata Alam; salah satu raja terbesar dan terlama yang pernah memerintah/menduduki tahta Kesultanan Banjar.
Ada pun tiga orang raja terakhir (Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dan Sultan Muhammad Seman) dalam sumber-sumber sejarah lokal Banjar tidak ditemukan catatan mengenai periodesasi jabatan mereka sebagai raja-raja Banjar yang pernah berkuasa.
Sebuah buku yang diterbitkan Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan berjudul 'Urang Banjar dan Kebudayaannya', tidak mencantumkan nama-nama mereka sebagai raja-raja yang pernah ada di Kerajaan Banjar. Hal ini kemungkinan sumber pencatatan yang mereka ambil hanya berasal dari catatan-catatan pemerintah kolonial Belanda saja (lihat Noorlander, dalam 'Urang Banjar dan Kebudayaannya' 2005:28).
Begitu juga M.Idwar Saleh; dalam bukunya tidak menyinggung sama sekali dua raja terakhir dalam periodesasi pemerintahan raja-raja Banjar. Dalam catatannya hanya sedikit ada disebutkan nama Pangeran Hidayatullah, dimana pada tahun 1860 -1862 Pangeran Hidayatullah di angkat oleh rakyat Kerajaan Banjar sebagai raja. Padahal raja terakhir -Sultan Muhammad Seman- termasuk salah satu raja yang terlama memerintah dan fenomenal di Kerajaan Banjar, walaupun statusnya adalah raja yang memerintah dalam masa peperangan. Kenapa dikatakan fenomenal? Sepanjang seluruh masa pemerintahannya selama lebih dari 40 tahun (1863 - 25 Januari 1905), beliau berada dalam kondisi antara hidup dan mati. Dalam rentang waktu kehidupan sejak masa kelahiran beliau, Keerajaan Banjar (Pemerintahan Pagustian) yang beliau dan ayahnda beliau pimpin berada dalam posisi berperang dengan Pemerintahan Kolonial Belanda yang dipimpin Residen Belanda di Banjarmasin.
Sultan Muhammad Seman mewarisi darah ksatria tulen; perpaduan yang sangat kental antara keturunan raja-raja Banjar terdahulu malalui Pangeran Antasari dengan para ksatria Dayak melalui ibunda beliau yang adalah saudara kandung dari Tumenggung Surapati yang merupakan kepala suku Dayak Siang Murung. Ibunda beliau (Nyai Fatimah) adalah perempuan Dayak Siang Murung yang dinikahi oleh Pangeran Antasari, ayahanda beliau, yang saat itu menjadi Pimpinan Perang Tertinggi sekaligus Kepala Pemerintahan dan Penata Agama Kerajaan Banjar.
Setelah Pangeran Antasari wafat karena sakit tua pada tanggal 11 Oktober 1862 di desa Bayan Begok - Sampirang, Muara Teweh, Gusti Muhammad Said dan Gusti Muhammad Seman oleh para pemimpin rakyat dan para kepala suku Dayak diangkat menggantikan posisi ayahanda beliau dan diberi nama Panembahan Muhammad Said dan Sultan Muhammad Seman. Setelah Panembahan Muhammad Said wafat karena sakit, Pemerintahan Pegustian dipegang oleh Sultan Muhammad Seman tetap dengan tanggung jawab sebagai Pimpinan Perang Tertinggi, Kepala Pemerintahan dan Kepala Agama. Sultan Muhammad Seman kemudian gugur sebagai syuhada dalam pertempuran sengit yang terjadi untuk ke sekian kalinya di benteng Kalang Barah - Muara Teweh melawan pasukan marsose Belanda pimpinan Letnan Christoffel.
Riwayat Pangeran Antasari dan Gusti Muhammad Seman dapat ditelusuri jauh ke belakang, yaitu di masa pemerintahan Sultan Tahmidullah atau Panembahan Kuning, yang masa pemerintahannya tidak terlalu lama. Setelah beliau wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada putera tertua bernama Pangeran Hamidullah (ketika naik tahta dinamai Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning). Sedangkan putera almarhum raja yang kedua, Pangeran Tamjidullah, dijadikan Patih atau Mangkubumi.
Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning menurunkan Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah (raja ke-14) yang menikah dengan saudara sepupu beliau sendiri, yaitu anak perempuan Pangeran Tamjidullah, lalu menurunkan tiga orang anak berturut-turut Pangeran Rahmat, Pangeran Amir dan Pangeran Abdullah.
Putera raja yang kedua, Pangeran Amir, menurunkan Pangeran Mash'ud yang dikawinkan dengan Gusti Chadijah, puteri dari Sultan Sulaiman Saidullah. Dari perkawinan ini lahir Pangeran Antasari (nama kecilnya Gusti Inu Kertapati). Jadi Pangeran Amir (yang oleh Pangeran Natadilaga sebelum menjadi raja, dan dengan berkolaborasi dengan VOC Belanda, diasingkan ke Srilangka) inilah yang merupakan kakek langsung dari Pangeran Antasari, dan pedatuan oleh Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari, raja terakhir Kerajaan Banjarmasin, yang menghabiskan hampir seluruh usia Beliau untuk berperang dengan tentara kolonial Belanda di pedalaman Pulau Kalimantan.
Catatan
Bahan Kepustakaan