Jumat, 09 Desember 2011

SULTAN MUHAMMAD SEMAN, KONTROVERSI SEKITAR KEMATIANNYA

















Hari ini, tanggal 25 Januari, seratus delapan tahun yang lalu,
Sultan Muhammad Seman bin Raden Inu kertapati (Pangeran Antasari atau Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin) gugur ..........................................................................................,
'Raja Air Barito' *1) itu, diusianya yang telah mendekati tujuh puluh tahun, tersungkur ditembus peluru. Beliau tak sanggup meneruskan perjuangan untuk membebaskan negerinya. Bobol sudah  'benteng pertahanan terakhir'  Pemerintahan Pegustian itu.

Selama empat puluh lima tahun perjuangan yang kebanyakan suram, beliau merupakan jiwa perlawanan rakyatnya dalam 'menentang'  kehampaan harapan  melawan tentara pemerintah  kolonial Hindia Belanda,  tentara berperlengkapan senjata api modern untuk ukuran zaman itu. Sedangkan pihak Sultan Muhammad Seman sendiri dengan anggota-anggota pasukannya yang terdiri dari orang-orang Banjar Hulu Sungai, Bakumpai, Dayak (dari bermacam anak suku yang ada di Kalimantan*2), Pasir, Kutai, Melayu Kalimanatan Barat, dan beberapa pejuang Aceh yang turut bergabung serta jatuh simpati pada keteguhan hati bangsawan Banjar itu, semuanya dalam kondisi kekurangan bahan makanan serta amunisi. Dan, satu hal lagi  ...........................  menghadapi musuh dalam bentuk lain yang turut menunggu kesempatan untuk mengincar mereka  .................. wabah penyakit cacar dan kolera yang mematikan.

Kekurangan amunisi?  Ya !!!  Bila ditarik ke belakang, jauh sebelum peristiwa pembantaian di Kalang Barah, menantu sekaligus kemenakan Sultan Muhammad Seman yang bernama Gusti Muhammad Arsyad dipaksa menyerah. Upaya ini dibarengi dengan penyerahan persenjataan yang dimiliki anggota pasukan yang jumlahnya mencapai ratusan pucuk senjata api ditambah senjata tradisional yang dimiliki para anggota pasukan Gusti Muhammad Arsyad lainnya. Sedangkan senjata-senjata tambahan dari luar asal selundupan para pedagang di pasar gelap tak pernah mampu menembus blokade Belanda yang begitu ketat mereka terapkan.

Dan jauh ke belakang lagi, 1885, di tahun itu Sultan Muhammad Seman sempat menulis dan  berkirim surat kepada penguasa Sarawak British,  yang ternyata tidak pernah mendapatkan tanggapan sama sekali. Isi surat tersebut menginformasikan tentang kondisi rakyat di pedalaman Borneo dan dinasti terakhir Kerajaan Banjar yang sedang menghadapi agresivitas gerakan perluasan wilayah yang dilakukan pemerintahan Hindia Belanda di Borneo. 

Lengkaplah sudah, mereka benar-benar berada dalam pertaruhan antara hidup dan mati. Kenyataan ..........., Sultan Muhammad  Seman gugur. Innalillahi wa inna ilaihirojiun ...........................



Kematian Yang Kontroversial

Menyebut nama Sultan Muhammad Seman, dan perihal sekitar gugurnya beliau di medan perang Banjar yang berkecamuk di pedalaman belantara Kalimantan, rasanya tidak akan lengkap bila tidak menyiinggung sama sekali nama pasukan 'marsose' *4) Belanda.  Dalam beberapa tulisan, baik berupa buku maupun artikel-artikel di media cetak seperti surat kabar, ada beberapa tulisan yang membahas mengenai pertempuran mempertahankan keberadaan 'kraton' Banjar terakhir  oleh para zuriat Pagustian tersebut.

Ide untuk menulis tentang/perihal kematian pemimpin Pemerintahan Pagustian di pedalaman belantara Kalimantan, muncul ketika mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh Kesultanan Banjar bekerjasama dengan IAIN Atasari Banjarmasin pada tanggal .............  Di situ Penulis bersua dengan Ir.H.M.Said, bekas pejabat gubernur KDH Tk. I  Kalimantan Selatan, walaupun tidak terlibat pembicaraan secara mendalam dengan beliau karena masih dalam suasana seminar, saya langsung teringat dengan salah satu tulisan Ir.H.M.Said dalam surat kabar harian Banjarmasin Post *4) yang menyinggung sedikit tentang peristiwa gugurnya Sultan Muhammad Seman dalam suatu pertempuran atau kontak senjata dengan musuh-musuhnya di sekitar benteng pertahanan Kalang Barah (propinsi Kalimantan Tengah sekarang).

Isi tulisan beliau relatif baru dan sedikit berbeda dari tulisan beberapa sejarawan Banjar yang rata-rata menyebutkan sangat berperannya anggota pasukan kiriman dari kancah Perang Aceh, yaitu pasukan marsose Belanda yang dikepalai Letnan Christoffel.

Di dalam artikelnya, Ir. H.M. Said menulis: " Kemudian pada 25 Januari 1905 Belanda dengan kekuatan besar dibantu oleh Tumenggung Silam dengan 300 anak buahnya mengepung benteng Kalang Barah.  Sultan diminta menyerah, namun Sultan berteriak  "haram manyarah !!!"  Setelah berteriak dia mendapat tembakan dari anak buah Tumenggung Silam dengan peluru 'pitonang'  kemudian meninggal ".

Tulisan yang hampir sama saya temukan dalam sebuah artikel di surat kabar harian Banjarmasin Post bertanggal 9 Maret 1987 dengan judul  'Ratu Zaleha, Penerus Perlawanan Pangeran Antasari Terhadap Belanda Di Kalimantan Selatan'  yang ditulis oleh Drs. Yustan Aziddin, Pada alinea ke-9 Yustan Aziddin menulis :  .......................Pada tanggal 1 Januari 1905, dalam perlawanan di Bamban, Kalang Barat, Baras Kuning, Sultan Muhammad Seman gugur, dikhianati oleh Tumenggung Silam. Beliau ditembak dengan peluru emas, sebab kalau tidak demikian beliau tidak akan terluka dengan peluru biasa.

Baik tulisan Ir.H.M. Said maupun artikel yang ditulis oleh Drs. Yustan Aziddin sama sekali tidak pernah menyebutkan sepak terjang dan keberadaan serdadu-serdadu pasukan marsose. Dalam tulisan itu hanya disebutkan kata 'Belanda',  tanpa embel-embel 'marsose' sedikitpun.  Sangat menarik memang, karena hal sebaliknya justru dalam tulisannya mereka menyebutkan keterlibatan pasukan lokal 'Dayak'  yang dipimpin oleh seorang pemuka atau panglima perang suku Dayak yang [ternyata] pada masa-masa sebelumnya pernah bergabung atau menjadi sekutu dengan Pemerintahan Pegustian dalam beberapa kali kontak senjata dengan pasukan Belanda.


Versi Penulis Lain

Sumber lama dari penulis lain yang masa hidupnya relatif sejaman dengan peristiwa atau kejadian tewasnya Sultan Muhammad Seman adalah buku sejarah  'Suluh Sejarah Kalimantan'  hasil jerih payah dari Amir Hasan Kiai Bondan (1882 - 1967). Bahan-bahan untuk penulisan buku 'Suluh Sejarah Kalimantan' dikumpulkan sedikit demi sedikit untuk kemudian disusun menjadi sebuah buku sejarah oleh Amir Hasan Kiai Bondan sejak tahun 1925 sampai  tahun 1953.

Khusus mengenai peristiwa gugurnya Sultan Muhammad Seman, buku 'Suluh Sejarah Kalimantan' relatif juga tidak banyak memuat tentang peristiwa pertempuran yang melibatkan pasukan yang dikepalai Sultan Muhammad Seman melawan pasukan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kalaupun ada buku-buku terbitan baru, kebanyakan mengutip dari pustaka lama seperti bukunya Amir Hasan Kiai Bondan ataupun dari buku karangan Anggraini Antemas.

Di halaman 74 bukunya, Amir Hasan Kiai Bondan menulis :
  1. 1904.  Tanggal 4 Djanuari   Gusti Arsat, Antung Durachman dan Gusti Atjil menjerah di Bandjarmasin, serta diasingkan di Djawa.  Sultan Muhammad Seman tetap mengadakan perlawanan. Lapangan perkelahian meluas sampai dilingkungan Kuala Kurun. Pada pertempuran di Kalangbarat (sungai Manawing) pengikut Pegustian melakukan perlawanan jang sengit, hingga banjak serdadu jang tewas. Kemudian dikirim serdadu marsusi (marechaussee) dipimpin oleh Letnan Christoffel ke Puruk Tjahu.
  2. 1905.  Letnan Christoffel dengan serdadu marsusi menjerang dengan tiba2 Kalangbarat. Pada perkelahian itu tewas Sultan Muhammad Seman.






"Mat Seman  bij de oigstceremonie van 1880" (Muhammad Seman dalam kegiatan panen raya tahun 1880)







Dari penulis lain, Anggraini Antemas, menulis di halaman 74 bukunya :  ..........Pusat pertahanan Sultan Muhammad Seman yang terakhir ialah di Bomban, Kalang Barat, diudik Baras Kuning, Sungai Manawing, Barito.
Pertarungan yang dahsyat terjadi di tempat itu, sehingga di kedua belah pihak amat banyak korban yang jatuh. Belanda mengetahui bahwa untuk menumpas Sultan Muhammad Seman itu, ia harus mendatangkan bantuan dari luar daerah.
Pada ketika itulah Belanda mendatangkan bala bantuan yang dipimpin oleh Letnan Christoffel dari Aceh. Adapun Christoffel sudah sejak lama terkenal sebagai komandan perang yang ahli dalam peperangan di Aceh, dan disinipun ia mengharapkan akan dapat menghancurkan pasukan-pasukannya Sultan Muhammad Seman.
Dengan gerak cepatnya marsose Belanda ini akhirnya berhasil mengepung benteng Kalang Barat tempat pertahanan Sultan Muhammad Seman, dan disini terjadilah pertempuran yang hebat.
Dalam pertempuran yang terjadi bulan Januari 1905 itu, sebiji peluru telah menembus tubuh Sultan Muhammad Seman, dan iapun gugurlah sebagai kesuma bangsa.



Tulisan Dari Sumber Belanda

Tidak lengkap kiranya pembahasan dalam tulisan ini bila belum disertakan/dimuat tulisan lain yang mengambil bahannya dari sumber-sumber barat dalam hal ini Belanda. Ada ulasan menarik yang dimuat oleh Helius Sjamsuddin. Tulisan tersebut mengambil bahannya dari sumber-sumber tertulis berupa arsip-arsip lama milik pemerintah Belanda semasa perang kolonial di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), terutama laporan langsung yang berasal dari Letnan (sewaktu membuat laporannya ini ia masih berpangkat letnan) Hans Chistoffel sendiri,  yang dalam beberapa tulisan dalam buku-buku sejarah Perang Banjarmasin oleh banyak penulis dianggap sebagai orang yang paling menonjol dalam beberapa tahun belakangan menjelang tewasnya Sultan Muhammad Seman.

Laporan Letnan Hans Christoffel yang bersifat sangat rahasia kepada gubernur jenderal Hindia Belanda di Batavia tersebut dimuat dalam 'Mailrapport' No.197, dan dalam 'Verbaal'  tertanggal 17 April 1905, atau empat bulan setelah peristiwa dramatik dan berdarah  di Kalang Barah- Manawing tanggal 24 Januari 1905. Dalam laporannya tersebut Christoffel mengatakan : "Ia telah memerintahkan Sultan untuk menyerah, tetapi Sultan Muhammad Seman dengan sisa-sisa pengikutnya yang ada membalas dengan tembakan-tembakan senapan. Oleh sebab itu marsose terpaksa membalas menembaknya. Sultan Muhammad Seman akhirnya gugur dengan dua orang pengikutnya. Mayatnya dibawa ke Puruk Cahu dan segera dikebumikan". (Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung, hal.437 - 438).



Pasukan 'marsose', ternyata tak selamanya tangguh seperti yang dilukiskan orang-orang Belanda

Satu hal yang menarik disini untuk dikaji, dalam laporannya tersebut ternyata Christoffel tidak ada sama
Letnan Hans Christoffel, digelari sebagai si 'macan Aceh' karena keganasannya.
sekali menyebutkan secara langsung siapa sosok tentara marsose yang melakukan penembakan terhadap Sultan Muhammad Seman, dan juga penembakan terhadap beberapa orang pengikutnya. Apakah Christoffel sendiri yang menembak?  Ataukah ditembak dengan senjata api yang dipegang para marsose anak buahnya? Dalam laporannya tersebut, Christoffel juga tidak menyinggung-nyinggung sama sekali nama-nama ataupun sosok pemimpin lokal Dayak. Apakah mereka ikut serta dalam ekspedisi penaklukan pemimpin Pemerintahan Pegustian terakhir itu? Semuanya masih berupa tanda tanya besar yang memerlukan jawaban serta kajian mendalam.

Kajian-kajian secara mendalam adalah sangat perlu dilakukan untuk menghilangkan kontroversi sekitar kematian Sultan Muhammad Seman. Sama juga halnya dengan tulisan yang menjadi bagian awal tulisan ini, yaitu artikel yang dibuat oleh Ir. H. M. Said diatas. Walaupun beliau tidak menyebutkan sama sekali informasi mengenai sumber awal tulisannya yang memuat tentang peristiwa kematian Sultan Muhammad Seman, adalah suatu hal yang memungkinkan kalau sumber-sumber lisan lah yang dipakai Ir. H. M. Said.

Berbicara  tentang sumber lisan, saya jadi teringat dengan isi pembicaraan ketika melakukan wawancara yang dilakukan dengan Hajjah Gusti Hindun (buyut Pangeran Antasari, atau anak dari Gusti Muhammad Arsyad) di sekitar peristiwa pengasingan Ayahanda beliau, Gusti Muhammad Arsyad, dari Banjarmasin ke Buitenzorg (kota Bogor sekarang).

Dari penuturan lisan Gusti Muhammad Arsyad semasa hidup Beliau yang didapat Hajjah Gusti Hindun terungkap, terasingkannya orang tua beliau dari tanah tumpah darahnya, Negeri Banjar, ke Bogor atau Buitenzorg waktu itu (tanggal 4 Januari 1904) ternyata adalah hasil dari rekayasa dan akal licik Belanda saja (dan tentu juga atas peranan/nasehat yang intensif dari seorang intelektual bermuka ganda Belanda bernama Dr. Christian Snouck Hurgronye). Untuk lebih lengkapnya baca juga artikel lain dalam web-blog ini:  PERANAN  DR. SNOUCK HURGRONYE  DAN PEJUANG PEJUANG ACEH DALAM PERANG BANJARMASIN.

Dengan kata lain Gusti Muhammad Arsyad telah ditipu oleh kata-kata manis dan akal bulus para petinggi militer maupun residen Belanda di Banjarmasin. (Tentang peristiwa ini dapat dibaca dalam tulisan saya yang lain di web-blog ini:  'LOLONGOK - KAMPUNG EMPANG, SEJARAH KEBERADAAN ORANG BANJAR KALIMANTAN DI BOGOR'  atau  'LOLONGOK - KAMPUNG EMPANG BOGOR, PEWARIS RAJA-RAJA BANJAR(MASIN) PERNAH DIASINGKAN DISINI'.



bersambung ..............................


Catatan : :

  1. Banyak 'gelar' yang disematkan orang kepada pemimpin terakhir Pemerintahan Pegustian ini. Ada yang menamakannya 'Raja Banjar di Tanah Dayak".
  2. Wilayah pedalaman Pulau Kalimantan yang ditempati Sultan Muhammad Seman sangat dekat dengan wilayah-wilayah pengaruh kerajaan-kerajaan tetangga seperti Kerajaan Kutai (di Kalimantan Timur), Kalimantan Barat, maupun wilayah-wilayah yang dikuasai pemimpin-pemimpin tradisional Dayak  pedalaman. Walaupun demikian, dalam perjuangannya tersebut Sultan Muhammad Seman banyak mendapat dukungan. Habib Ali, pemimpin dan pemuka orang-orang Arab di Kalimantan Barat banyak memberikan bantuan kepada para pemimpin Pemerintahan Pegustian yang bermarkas di Sungai Bomban, suatu wilayah yang berbatasan dan relatif dekat dengan Kalimantan Barat.
    Masih dari Kalimantan Barat, tepatnya Putussibau - Kapuas Hulu, muncul nama Panglima Mat Narung yang juga sangat besar sumbangannya dalam membantu perjuangan Sultan Muhammad Seman.
  3. Korps Merechaussee (marsose) adalah suatu pasukan khusus yang mana anggota-anggotanya direkrut dari pasukan infanteri tentara Hindia Belanda (NIL: Nederland Indie Lerge). Didirikan pada tanggal 20 April 1890 dimasa-masa berkecamuknya Perang Aceh. Ironisnya, pembentukan korps marsose pertama kali adalah atas usulan orang Aceh sendiri, tepatnya seorang jaksa kepala pada pengadilan di Kutaraja - Aceh, bernama Muhammad Arif ; kepada gubernur militer Aceh Jenderal  van Teijn dan kepala stafnya yang pada saat itu masih berpangkat kapten, J.B. van Heutsz. Sedangkan komandan korps marsose pertaman adalah Kapten Notten. Anggota-anggota korps marsose terdiri dari serdadu/perwira orang-orang Belanda pilihan ditambah dengan para serdadu bayaran yang berasal dari berbagai negara/wilayah; Jerman, Swiss, Belgia, dan Perancis, orang-orang Afrika, Ambon, Ternate, Halmahera, Manado, Jawa, Nias, Timor. Contohnya, Letnan H.Christoffel berasal dari Swiss, yang kemudian diberikan kewarganegaraan Belanda bersamaan dengan penganugerahan kenaikan pangkatnya menjadi  'kapten'  atas jasa-jasanya ketika memadamkan perlawanan penerus dinasti raja-raja Banjarmasin, Sultan Muhammad Seman.                                                                                               



Sumber Tulisan












Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Top WordPress Themes