Peta perairan menggambarkan perjalanan laut Sultan Tahlilullah beserta rombongan ke wilayah Sulu-Mindanao
Ulama Negeri Banjar berdarah keturunan Sulu-Mindanao |
Ulama Negeri Banjar berdarah keturunan Sulu-Mindanao |
.................. Maka Wiramartas itu disuruh (menghadap) pada raja Cina, membawa intan sepuluh, membawa mutiara empat puluh, membawa cumantan empat puluh, membawa polam empat puluh, membawa mirah empat puluh, membawa baiduri empat puluh, dan lilin empat puluh pikul dan damar seribu kindai, pèkat seribu gelung dan air madu seratus gantang, orang utan sepuluh ekor, serta membawa surat meminjam orang yang tahu berbuat berhala gangsa. Sudah itu Wiramartas dipersalin sepanjanang baju sachlat, sabuk cindai, kain sarasah, keris berlandean emas serta sangunya. Yang menghiringkan orang lima puluh, sama dipersalin sabuk kimka dan kain Kaling.
Sudah itu berlayar ia dengan pergata. Ada berapa lamanya di laut, maka datang ia itu pada pelabuhan bandar Cina itu serta mendirikan tetunggul putih dengan menghiasi kepalanya sebagai pertanda bahwa mereka membawa surat sebagai 'suruhan raja besar'. Ketika ditanya siapa gerangan yang datang dalam pergata itu, maka di jawablah: "Ini suruhan raja Negara Dipa, membawa layang serta bingkis pada raja Cina ini. Nama raja-dutanya Wiramartas ".
Demikian Hikayat Banjar mewartakan koneksi hubungan "Banjar" dengan Negeri Cina sekian abad yang lalu.
Mungkin saja orang-orang Cina sudah menetap di dalam wilayah Banjar sejak zaman Hindu. Hikayat Banjar menceritakan tentang kedatangan pemahat-pemahat Cina yang diperbantukan untuk membuat patung perunggu atas pesanan raja Negaradipa. Juga diceritakan mulai masa paling awal Negaradipa sudah banyak saudagar-saudagar asing yang berniaga, antara lain bangsa Cina, sebagian di antaranya mungkin ak,hirnya ada yang menetap. Ketika pelabuhan dipindahkan ke wilayah Marabahan pada zaman Negaradaha, konon sudah ada saudagar-saudagar asing yang menetap di kota-kota pelabuhan, antara lain bangsa Cina. Di Banjarmasin dahulu orang-orang Cina menempati perkampungan mereka sendiri, yang susah ada pada zaman kesultanan, terletak berhadapan dengan benteng Belanda di tepi Sungai Martapura.
MASIN, MAHASIN ATAU "MA CHEN"
Akademisi dan ahli bahasa Sanksekerta sekaligus sarjana Budha asal Jepang bernama Takakusu Junjiro dalam bukunya yang berjudul 'An Introduction to I-tsing's Record of the Buddhist Religion as Practice in India and tje Malay Archipelago' mencatat sekitar perjalanan seorang rahib Budha asal Tiongkok Selatan, tepatnya dari provinsi Yunnan, bernama I-tsing ke Kepulauan Nusantara di timur.
I-tsing melakukan perjalanannya ke Kepulauan Nusantara pada kisaran Abad ke-7 Masehi atau sekitar tahun 671 - 695 Masehi dalam rangka mempelajari agama Budha di pusat Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera. Dalam perjalanan pulang ke negeri asalnya, ia sempat singgah di sebuah pulau besar, yang dalam buku catatannya di beri nama dalam bahasa Cina sebagai ' MO-HO-SHIN', atau Mahasin.
Dalam catatan sejarah Dinasti Ming (1368-1683), Ma-Chen (Kesultanan Banjarmasin) sudah dikenali oleh orang-orang Cina ketika mereka melakukan pelayaran niaga sejak abad ke-14. "Banjarmasin" dikatakan sebagai sebuah kota yang dikelilingi tembok kayu, dimana pada sebuah sisi kotanya berbatasan dengan deretan pegunungan. Demikian dikatakan oleh peniaga-peniaga Cina, sebagaimana juga catatan sejarah Cina dari Dinasti Ming mencatatnya dalam Buku 323.
(Kota) yang dimaksud dalam catatan sejarah Dinasti Ming tersebut kemungkinan besar adalah Martapura, atau lebih populer dengan sebutan Kayu Tangi, yang letaknya agak lebih ke hulu, berjarak sekitar empat puluhan kilometer dari Tatas (di kota Banjarmasin sekarang).
Selanjutnya dalam catatan perjalanan orang-orang Tiongkok itu dikatakan, penduduk Kesultanan Banjarmasin -saat itu sudah mencapai 15.000 orang, di tambah rakyat Negara Daha yang sengaja diangkut/dipindahkan ke Banjarmasin- menempati 'lanting-lanting' sebagai rumah terapung di sepanjang tepi sungai, seperti layaknya rumah-rumah milik orang Palembang.
JALUR SUTRA (?)
Sebagai salah satu penghasil lada terbesar di Nusantara saat itu, wilayah Kesultanan Banjarmasin menjadi alur pelayaran pelaut-pelaut Cina, dengan titik persinggahan mereka berada di pelabuhan Banten kala itu, lalu diteruskan ke pelabuhan Tatas di Banjarmasin.
Tempat-tempat yang mereka lalui dalam pelayaran itu setelah dari Banten adalah Cirebon, (Gunung) Muria, Kepulauan Karimunjawa, Sampit, Pulau Damar, Batu Mandi, Tanjung Cimantan, (Muara) Sungai Kapuas, Keramaian, (Muara Banjar) lalu memasuki Sungai Barito (Sungai Biadjo).
.......................... bersambung