Di kota Semarang, ibukota propinsi Jawa Tengah ada Kampung Banjar? Yang benar saja. Haaaa, memang benar-benar ada? Dimana persisnya? Ya, pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang menggelayuti pikiran saya sekian tahun yang lalu ketika menginjakkan kaki di Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.
Nama Kampung Banjar di kota Semarang pertama kali saya dengar dari penuturan seorang teman duduk saya di sebuah bus ketika saya mengadakan perjalanan dari kota Semarang ke Yogyakarta sekitar bulan Oktober 1998. Sulaiman N.A., demikian nama teman duduk saya tadi mengenalkan diri. Beliau kebetulan adalah seorang tenaga pengajar di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang.
Tak banyak memang informasi yang saya peroleh dari Pak Sulaiman N.A. perihal keberadaan orang-orang Banjar asal Pulau Kalimantan yang membuka perkampungan di ibukota Provinsi Jawa Tengah tersebut. Tetapi bagi mereka yang memiliki 'sedikit' instink jurnalistik, informasi dalam jumlah berapa pun -sedikit, apalagi banyak- tentu saja sama-sama berharganya.
Menurut penuturan Pak Sulaiman N.A., komunitas orang-orang Banjar di kota Semarang terkonsentrasi di dua tempat, yaitu di Kampung Banjar; utamanya di wilayah Jalan Petek dekat lokasi berdirinya Hotel Hwasia dan hotel Singapura. dan yang kedua adalah di Kampung Melayu, yang letaknya sekitar Jalan Layur. Kedua kampung ini, kata Pak Sulaiman N.A., merupakan bagian dari Kota Lama Semarang yang sangat banyak memiliki warisan bersejarah berupa bangunan-bangunan tua dan antik peninggalan masa kolonial.
Banjar Kauman
Ketika pada kesempatan yang kedua kalinya menginjakkan kaki di kota 'lumpia' ini untuk hanya sekedar transit menuju Jakarta bersama-sama isteri, puteri dan dua orang adik perempuan saya, kurang lebih lima tahun setelah kunjungan pertama saya pada bulan Oktober 1998 yang lalu, lagi-lagi saya tidak sempat menyambangi Kampung Banjar di Semarang. Adaaa saja halangannya.
Untuk sekedar mengobati kekecewaan di hati, saya bertolak ke Masjid Besar Semarang atau Masjid Kauman, sebuah masjid tua yang sangat bersejarah dan mempunyai nilai historis tinggi, karena merupakan salah satu peninggalan bersejarah dari sejak awal jaman kerajaan Islam di Tanah Jawa, dan telah dilindungi undang-undang kepurbakalaan. Usai menunaikan shalat fardhu disana, saya berjalan-jalan ke Kampung Kauman, yang letaknya relatif tidak terlalu jauh dari Masjid Besar Semarang.
Di sebuah rumah tua berarsitektur campuran Jawa dan Kolonial, terhampar pemandangan menarik. Di serambi dan bagian depan rumah yang telah dialihfungsikan menjadi semacam 'coffie shop', beberapa lelaki sedang berceloteh, 'dadarau-an' suaranya. Di sudut lain, tiga orang lelaki sedang asyik memperhatikan 'sesuatu benda' yang baru saja dikeluarkan dari sebuah kotak yang berpenampilan mewah dan menarik. Sedangkan rekannya yang lain, dengan menggunakan sebuah kaca pembesar berbentuk khusus, dengan tekun 'mengeker' benda yangbaru saja diambil dari kotaknya dan dijepit dengan ibu jari serta jari telunjuknya.
Sesekali terdengar suara tawa, 'ba-darau' lagi, yang diselingi dengan ucapan-ucapan dengan menggunakan bahasa campuran. Kadang-kadang berbahasa Indonesia, yang kemudian diselingi dengan bahasa daerah setempat, Jawa. Tapi yang lebih banyak adalah celotehan dalam bahasa Banjar yang kental. Itu pula yang keluar ...............................................
bersambung
Nama Kampung Banjar di kota Semarang pertama kali saya dengar dari penuturan seorang teman duduk saya di sebuah bus ketika saya mengadakan perjalanan dari kota Semarang ke Yogyakarta sekitar bulan Oktober 1998. Sulaiman N.A., demikian nama teman duduk saya tadi mengenalkan diri. Beliau kebetulan adalah seorang tenaga pengajar di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang.
Tak banyak memang informasi yang saya peroleh dari Pak Sulaiman N.A. perihal keberadaan orang-orang Banjar asal Pulau Kalimantan yang membuka perkampungan di ibukota Provinsi Jawa Tengah tersebut. Tetapi bagi mereka yang memiliki 'sedikit' instink jurnalistik, informasi dalam jumlah berapa pun -sedikit, apalagi banyak- tentu saja sama-sama berharganya.
Menurut penuturan Pak Sulaiman N.A., komunitas orang-orang Banjar di kota Semarang terkonsentrasi di dua tempat, yaitu di Kampung Banjar; utamanya di wilayah Jalan Petek dekat lokasi berdirinya Hotel Hwasia dan hotel Singapura. dan yang kedua adalah di Kampung Melayu, yang letaknya sekitar Jalan Layur. Kedua kampung ini, kata Pak Sulaiman N.A., merupakan bagian dari Kota Lama Semarang yang sangat banyak memiliki warisan bersejarah berupa bangunan-bangunan tua dan antik peninggalan masa kolonial.
Banjar Kauman
Ketika pada kesempatan yang kedua kalinya menginjakkan kaki di kota 'lumpia' ini untuk hanya sekedar transit menuju Jakarta bersama-sama isteri, puteri dan dua orang adik perempuan saya, kurang lebih lima tahun setelah kunjungan pertama saya pada bulan Oktober 1998 yang lalu, lagi-lagi saya tidak sempat menyambangi Kampung Banjar di Semarang. Adaaa saja halangannya.
Untuk sekedar mengobati kekecewaan di hati, saya bertolak ke Masjid Besar Semarang atau Masjid Kauman, sebuah masjid tua yang sangat bersejarah dan mempunyai nilai historis tinggi, karena merupakan salah satu peninggalan bersejarah dari sejak awal jaman kerajaan Islam di Tanah Jawa, dan telah dilindungi undang-undang kepurbakalaan. Usai menunaikan shalat fardhu disana, saya berjalan-jalan ke Kampung Kauman, yang letaknya relatif tidak terlalu jauh dari Masjid Besar Semarang.
Di sebuah rumah tua berarsitektur campuran Jawa dan Kolonial, terhampar pemandangan menarik. Di serambi dan bagian depan rumah yang telah dialihfungsikan menjadi semacam 'coffie shop', beberapa lelaki sedang berceloteh, 'dadarau-an' suaranya. Di sudut lain, tiga orang lelaki sedang asyik memperhatikan 'sesuatu benda' yang baru saja dikeluarkan dari sebuah kotak yang berpenampilan mewah dan menarik. Sedangkan rekannya yang lain, dengan menggunakan sebuah kaca pembesar berbentuk khusus, dengan tekun 'mengeker' benda yangbaru saja diambil dari kotaknya dan dijepit dengan ibu jari serta jari telunjuknya.
Sesekali terdengar suara tawa, 'ba-darau' lagi, yang diselingi dengan ucapan-ucapan dengan menggunakan bahasa campuran. Kadang-kadang berbahasa Indonesia, yang kemudian diselingi dengan bahasa daerah setempat, Jawa. Tapi yang lebih banyak adalah celotehan dalam bahasa Banjar yang kental. Itu pula yang keluar ...............................................
bersambung
3 komentar:
iya ada,, dulu namanya kampung banjar, letaknya di kelurahan dadapsari, semarang utara. tp sekarang namanya jadi kampung geni (api dalam bahasa jawa), karena 2x kena musibah kebakaran hebat, sebelum terbakar ada rumah2 khas banjar sekarang tinggal 1 saja yg tersisa.
di kelurahan dadapsari, semarang utara. terdiri dari 3 kampung; kampung banjar, kampung geni, kampung baru.
di kelurahan dadapsari, semarang utara. terdiri dari 3 kampung; kampung banjar, kampung geni, kampung baru.
Posting Komentar