Karena letaknya yang sangat strategis itulah, armada-armada dagang milik bangsa-bangsa Erofa [Portugis, Inggris, Belanda], Cina, Melayu, Bugis, Jawa, acap kali melabuhkan jangkarnya di bandar Tatas. Apalagi ketika komoditas utama Kerajaan Banjarmasin -lada- mampu membius dan mengundang keinginan bangsa-bangsa barat yang sangat bernafsu untuk menguasai dan menetap di wilayah ini pada kisaran Abad ke-17. Di awal kedatangannya di wilayah Kerajaan Banjarmasin pada tahun 1606, armada dagang VOC Belanda sama sekali belum melirik Tatas. Mereka justru berlabuh di perairan Sungai Barito, yang berdekatan dengan muara Sungai Kween, tidak jauh dari kediaman Sultan Banjar. Oleh Gillies Michelzoon yang memimpin armada dagang itu, dilakukan audience sekaligus meminta izin melakukan aktivitas dagang kepada Panembahan. Begitu pun di kedatangannya yang kedua kali pada tahun 1612, armada perahu VOC Belanda belum mau melirik wilayah Tatas.
Silih berganti delta Tatas beralih kepemilikan. Yang semula adalah merupakan bagian dari wilayah tradisionil Kerajaan Banjarmasin, kemudian beralih kepemilikan lagi sebagai imbas dari ditanda-tanginya kontrak/perjanjian sewa menyewa ditahun 1747 antara Sultan Banjarmasin dengan VOC Belanda.
Oleh VOC Belanda kemudian di atas pulau Tatas didirikan perkantoran atau loji [bahasa Belanda; lodge] dagang, sekaligus sebagai tempat/wadah/gudang penumpukan barang-barang komoditas yang mereka beli dari pedagang-pedagang Banjar maupun pedagang-pedagang bangsa lain yang berniaga di sekitaran bandar Tatas. Sembilan tahun setelahnya, tepatnya pada tahun 1756, VOC Belanda memutuskan mendirikan benteng [berbahan kayu] di atas pulau delta itu.
Seiring perjalanan waktu, kedudukan Fort van Tatas berubah menjadi sangat penting sesudah tahun 1787, dan kemungkinan juga dari segi material bahan bangunan juga berubah. Dari yang semula hanya berbahan dasar kayu, kemudian berubah atau bertambah dengan memakai bahan-bahan non kayu. Hal ini sesuai dengan keterangan Bambang Sakti -Kepala Balai Arkeologi Kalimantan Selatan- yang melakukan peninjauan lapangan di lokasi penemuan meriam kuno yang ditemukan saat penggalian tanah untuk fondasi proyek peninggian Jalan Jenderal Sudirman, di depan Masjid Raya Sabilal Muhtadin-Banjarmasin, yang kuat dugaan berasal dari peninggalan Benteng Tatas [Fort van Tatas].
Menurut Kepala BALAR Kalimantan Selatan yang melakukan peninjauan di lokasi penemuan meriam kuno -Selasa tanggal 9 Agustus 2016- ditemukan juga tumpukan atau susunan [batu] bata yang diperkirakan [berasal dari] bangunan megah fort van Tatas. "Dari [bentuk dan] ukurannya batu bata ini merupakan sisa-sisa dari Benteng Tatas milik pemerintah kolonial Belada pada Abad ke-18', ujarnya.
Hal ini, imbuh Bambang Sakti lagi, didasarkan pada [ciri-ciri] warna bata-bata tersebut yang lebih [berwarna] merah, dan bentuknya [yang] lebih besar [daripada ukuran batu bata-batu bata yang umum dipakai sekarang di Banjarmasin]. "Batu bata ini sangat mirip dengan [batu bata yang berasal dari] sisa bangunan Benteng Tabanio, yang juga merupakan benteng pertahanan kolonial Belanda kala itu".
Di sebelah kiri adalah daratan wilayah Pulau Tatas, yang oleh VOC Belanda kemudian didirikan benteng pertahanan dan diberi nama Fort van Tatas. |
bersambung ...................................................................................
0 komentar:
Posting Komentar