DR. Christian Snouck Hurgronye |
Snouck Hurgronye ikut terlibat dalam Perang Banjarmasin? Apakah betul? Bila betul, sampai sejauh mana keterlibatannya dalam peristiwa penting di Banua Banjar itu?. Apakah Snouck terlibat langsung dalam salah satu peperangan terlama yang dialami Pemerintahan Hindia Belanda yang berpusat di Batavia dengan salah satu kerajaan Islam di Nusantara itu selain Perang Aceh dan Perang Jambi.
Siapa sosok yang bernama C.Snouck Hurgronye?
Lalu bagaimana pula ceritanya para pejuang asal Aceh sampai ikut terlibat juga dalam peperangan yang hampir mencapai wilayah-wilayah perbatasan Kerajaan Kutai di propinsi Kalimantan Timur, serta perbatasan Kalimantan Barat sekarang?
Mungkin pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang ada dalam benak kita saat membaca judul tulisan di atas.
Perang Banjar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah peperangan yang dilakukan oleh Pemerintahan Pegustian, iatu para penerus Kerajaan Banjar dari keturunan Pangeran Antasari yaitu Sultan Muhammad Seman, yang bergabung bersama-sama dengan para penerus atau keturunan Temenggung Surapati dalam melawan hegemoni tentara kolonial Hindia Belanda di pedalaman Barito atau wilayah Tanah Dusun dan Tanah-Tanah Dayak (di propinsi Kalimantan Tengah sekarang). Peristiwanya sendiri terjadi dalam kurun waktu 1863 sampai tahun 1906.
Boleh dikatakan ini adalah merupakan periode kedua dalam Perang Banjarmasin yang berlangsung sangat lama, dan menurut pemerintah Hindia Belanda di Batavia merupakan peperangan yang berlarut-larut yang pernah mereka alami di Nusantara, sehingga begitu menguras emosi, perasaan maupun sumber pendanaan yang mereka miliki.
Sosok Christian Snouck Hurgronye
Profil dari Christian Snouck Hurgronye muda |
Dr. Christian Snouck Hurgronye adalah penasihat pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia dalam hal masalah-masalah Pribumi Nusantara dan Arab, sekaligus sebagai seorang ahli khusus mengenai masalah Aceh dan Perang Aceh. Salah seorang sejarawan Aceh, Mohammad Said, menjuluki Snouck Hurgronye sebagai 'penjahat perang kolonial' karena tindakan-tindakannya yang cenderung menghalalkan segala cara dalam Perang Aceh.
Dalam bukunya 'Atjeh Sepanjang Abad', Mohammad Said menuliskan komentarnya tentang sosok Dr. Christian Snouck Hurgronye; Dengan tindakan menjadikan sandra keluarga T. Meuntroe Garot, Snouck Hurgronye dapat dianggap merupakan 'auctor intellectualis' metode sandra dan 'penjahat perang kolonial' kalau istilah ini dapat dipergunakan.
Snouck Hurgronye sangat intens terlibat dalam politik kolonial pemerintah Hindia Belanda, dan ia mempunyai fungsi politik. Dalam hubungan dengn fungsi politik ini dapat dilacak dari perjalanan Snouck Hurgronye ke pusat peadaban ummat Islam sedunia, Makkah, beralihnya Snouck Hurgronye menjadi Islam dan perkawinannya dengan seorang wanita muslim. Selama berada di Makkah, Snouck Hurgronye bertugas menyelidiki (lebih tepatnya memata-matai) gerak-gerik para haji dan orang-rang terkemuka asal Hindia Belanda. (Lihat: Hamid Algadri dalam 'Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda).
Sebelum itu, tepatnya mulai bulan Juli 1892 sampai Februari 1892, Snouck Hurgronye mengadakan penyelidikan mengenai agama dan politik di wilayah Aceh untuk mengetahui bagaimana sikap para ulama setelah wafatnya seorang tokoh penting dalam Perang Aceh --Tengku Chik di Tiro Muhammad Saman-- bagaimana pengaruh mereka, serta jalan manakah yang ditempuh oleh Sultan Aceh dalam memenuhi kehendak para ulama sepeninggal Tengku Chik di Tiro Muhammad Saman.
Snouck Hurgronye berpendapat bahwa pada umumnya yang dihadapi Belanda adalah sebuah gerakan rakyat yang fanatik, yang dipimpin oleh para ulama Islam. Selanjutnya dikatakan oleh Snouck Hurgronye; mereka ini hanya dapat ditaklukkan bilamana Belanda mempergunakan kekuatan senjata, dan kontak dengan mereka tidak boleh dilakukan sebelum mereka benar-benar menyerah.
Sebelumnya, pada tahun 1889 Snouck Hurgronye sebagai ahli bahasa Arab berusia 32 tahun telah mendapat pengakuan internasional dalam lingkungan ahli-ahli tentang Islam dengan sebuah publikasi yang istimewa. Karyan ya adalah suatu telaah tentang kehidupan muslimin di kota Mekkah yang tersembunyi dan terlarang bagi kalangan bukan muslim. Sebelum itu, di tahun 1884 dan 1885, dengan memakai nama samaran Abd al-Ghaffar dia mendapat kesempatan belajar dan menetap di Mekkah.
Peran Snouck Hurgronye (baik dalam masa Perang Aceh maupun Perang Banjar) adalah dalam hal memberikan advis/nasehat tentang sesuatu permasalahan yang berhubungan dengan tanah-tanah jajahan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, dalam hal ini Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.
Jadi Snouck Hurgronye memang tidak terjun langsung dalam kancah peperangan-peperangan besar itu.
Oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda (waktu itu dijabat oleh 'penakluk Aceh' sekaligus sahabat karibnya ketika sama-sama bersekolah di Negeri Belanda dahulu, J.B. van Heutz) dibentuk sebuah komisi yang terdiri atas Residen de Rooy dan Letnan Kolonel G.C.E. van Daalen, yang notabene juga seorang veteran Perang Aceh.
Tugas komisi ini adalah membuat suatu usulan atau rekomendasi tentang cara-cara pemerintah pendudukan militer Hindia Belanda bertindak di wilayah Banjarmasin dan sekitarnya -terutama untuk mengakhiri peperangan yang digerakkan oleh para penerus dan keturunan Pangeran Antasari yang ada di Tanah Dusun dan Tanah-Tanah Dayak (di wilayah propinsi Kalimantan Tengah sekarang).
Selain dari komisi de Rooy dan van Daalen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda juga mengharapkan Snouck Hurgronye sebagai seorang sahabat akrabnya semasa mereka bersekolah di Negeri Belanda mau memberikan rekomendasinya.
Model penyelesaian yang diberikan C.Snouck Hurgronye adalah model penyelesaian perang yang pernah direkomendasikannya di Aceh (tetapi menurut salah satu penulis Belanda tentang Perang Aceh, Paul van't Veer), model penyelesaian ini gagal diterapkan di Aceh, dan ini merupakan kegagalan besar bagi Snouck Hurgronye.
Hurgronye lebih menyukai tindakan kekerasan terhadap Sultan Muhammad Seman sebagai pemimpin pemerintahan Pegustian, atau sampai putra Panembahan Antasari itu betul-betul menyerah dan bertekuk lutut kepada pemerintah Hindia Belanda. Hal ini di belakang hari tidak sesuai dengan keinginan Snouck Hurgronye. Apa pasal? Dalam tubuh Sultan Mat Seman (demikian namanya sering disebut oleh orang-orang Tanah Dusun) yang dialiri darah ksatria Dayak, bertempur sampai tetesan darah terakhir ternyata lebih menjadi pilihan beliau. Beliau benar-benar ksatria tulen. Menghadapi tentara-tentara marsose yang sangat berpengalaman dalam memadamkan Perang Aceh maupun perang-perang lain di Nusantara.
Perlawanan pejuang-pejuang Banjar dan Dayak di Dusun Hulu itu kebetulan memang bersamaan waktunya dengan Perang Aceh. Banyak pejuang-pejuang Aceh yang berhasil ditawan Belanda selama perang besar itu, dan kemudian dibuang ke berbagai wilayah lain kepulauan Nusantara sebagai pekerja paksa. Di antara mereka itu adalah dua orang Aceh (bernama Amir dan Usup) yang dipekerjakan oleh Belanda sebagai tawanan dan pekerja paksa di benteng mereka di Puruk Cahu.
Tidak begitu banyak informasi yang didapat dari penulis-penulis sejarah Perang Banjar mengenai sosok para pejuang Aceh yang menerjunkan dirinya ke dalam Perang Banjar episode kedua di pedalaman Barito. Apakah mereka termasuk orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di Kerajaan Aceh sebelum itu, tidak banyak terungkap.
Tapi bila melihat kebiasaan Pemerintah Kolonoal Hindia Belanda selama masa-masa perang di wilayah-wilayah lain di Nusantara, bahwa orang-orang yang mereka tangkap - jadikan tawanan - lalu buang ke wilayah lain adalah orang-orang yang benar-benar membahayakan kedudukan pemerintahan Belanda di suatu daerah. Tidak menutup kemungkinan nama-nama seperti Panglima Amir, Panglima Usup ataupun Panglima Aceh (nama lain dari Panglima Ali) adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan cukup tinggi di Kerajaan Aceh sebelum itu. Itulah juga mengapa kemudian (baik dalam masa pimpinan Sultan Muhammad Seman maupun saat Gusti Berakit mengambil alih estafet perjuangan) orang-orang Aceh ini diberi jabatan yang cukup strategis, yaitu sebagai panglima perang.
Kedua orang mantan pekerja paksa yang telah melarikan diri dari penjagaan serdadu Belanda di benteng Puruk Cahu ini kemudian bergabung dengan pasukan Sultan Muhammad Seman, dan mereka selanjutnya sangat aktif mendukung Pemerintahan Pegustian.
Panglima Ali di Benteng Bukit Manduruian
Ketika anggota-anggota keluarga Pegustian berada dalam pengejaran tentara Belanda (sesudah meninggalnya Sultan Muhammad Seman, Januari 1905), Amir dan Usup sepakat mengikuti kemana pun perginya putera Sultan Muhammad Seman -Gusti Berakit- dan rombongannya.
Menyaksikan kesetiaan dan ketangguhan mereka dalam beberapa kali manuver menghadapi pasukan tentara marsose Belanda, ditambah pengalaman mereka yang tak kenal lelah dalam bertempur di kancah Perang Aceh, Gusti Berakit sepakat mengangkat kedua lelaki asal Aceh ini sebagai panglima-panglima perangnya, mendampingi panglima-panglima perang dan prajurit-prajurit asal Banjar dan Tanah Dayak. Nama-nama mereka pun berganti menjadi Panglima Aceh untuk Amir, dan Panglima Usup.
Jauh sebelum tahun 1905, seorang lagi pejuang Aceh ternyata pernah aktif mengikuti dan membantu perjuangan Sultan Muhammad Seman dalam suatu pertempuran hidup mati di Benteng Bukit Manduruian. Peristiwa pertempuran di Benteng Manduruian ini terjadi pada tahun 1883.
Sebelum pecah pertempuran besar di Benteng Bukit Manduruian itu, Sultan Muhammad Seman mengangkat seorang lelaki asal Aceh, yang di belakang hari kemudian diketahui sebagai veteran Perang Aceh. Lelaki bernama Ali itu kemudian diangkat oleh Sultan Mat Seman sebagai panglimanya, dengan nama Panglima Ali.
Pengaruh Panglima Ali di kemudian hari menjadi sangat besar. Ia mampu membangkitkan semangat pejuang-pejuang Banjar dan Dayak di wilayah tanah Dusun. Dimintanya dukungan rakyat setempat untuk terus membantu perjuangan Sultan Muhammad Seman dalam menghadapi agresi Belanda.
Seorang sejarawan --Helius Sjamsuddin-- mendeskripsikan keadaan Benteng Bukit Manduruian secara lebih lengkap; benteng ini terletak di puncak sebuah bukit bernama Bukit Manduruian, tepatnya di tepi sebelah kanan Sungai Lahei, di hulu Sungai Barito.
Benteng ini berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran kurang lebih 35 meter x 25 meter. Di dalam benteng yang dikelilingi pagar setinggi kira-kira 2,7 meter, para pejuang melengkapinya dengan beberapa buah meriam, ratusan buah senapan, ditambah dengan berbagai jenis senjata tajam lainnya.
Ketiga sisi bukitnya sangat curam dan sulit untuk didaki, kecuali bagian bukit sebelah utara yang kounturnya tidak terlalu curam. Maka oleh sebab itu para pejuang, utamanya Panglima Ali yang berpengalaman dalam menghadapi keganasan tentara marsose Belanda di Aceh, mengklaim Benteng Bukit Manduruian ini sangat kuat untuk dijadikan markas pertahanan dalam menghadapi serbuan tentara Belanda.
Terbukti; ternyata tidak salah pilihan Sultan Muhammad Seman ketika mengangkat dan menjadikan Panglima Ali sebagai salah seorang hulubalangnya dalam memimpin pasukan perlawanan orang-orang Banjar dan Dayak terhadap aneksasi tentara kolonial Hindia Belanda di pedalaman Barito.
Sekilas Aceh sebelum tahun 1883
Selain diamuk perang melawan bangsa kolonial, wilayah-wilayah lain di Nusantara pada kisaran tahun 1883 juga dilanda malapetaka dalam bentuk lain. Pada sekitar bulan Agustus 1883, gunung berapi di Selat Sunda -Krakatau- meletus, mengakibatkan kematian kurang lebih tiga puluh enam ribu jiwa manusia yang mendiami daerah-daerah sekitar pesisir Selat Sunda.
Terdamparnya Panglima Ali di wilayah Kerajaan Banjar yang tengah bergolak, mungkin dilatar-belakangi oleh situasi di wilayah Aceh sendiri yang luluh lantak akibat peperangan yang di sulut oleh Belanda.
Situasi di wilayah Kerajaan Aceh sebelum tahun 1883 yang melatar-belakangi tertangkap dan dibuangnya pejuang-pejuang Aceh oleh Belanda keluar dari wilayah Aceh, mungkin menarik untuk diketahui.
Dengan menggunakan berbagai cara dapatlah beberapa di antara uleebalang Aceh ditundukkan Belanda, bahkan menurut penilaian A.Pruys van der Hoeven (gubernur sipil Aceh pertama pengganti pejabat pemerintahan militer yang keras di bawah Jenderal K.van der Heijden, dan diangkat oleh gubernur jenderal Hindia Belanda di Batavia pada tanggal6 April 1881), meskipun disana-sini masih terdapat permusuhan terhadap Belanda, namun perlawanan secara umum dari rakyat Aceh tidak ada lagi. Ini buah dari tunduknya beberapa uleebalang Aceh kepada Belanda (Ibrahim Alfian; Perang di Jalan ALLAH, hal.76).
Tambahan lagi, pasukan pejuang Aceh sebelum tahun 1883 itu kehilangan seorang panglima perangnya yang gagah berani serta ahli dalam hal perang gerilya bernama Tengku Nyak Hasan, hal mana oleh Jenderal Deijkerhoff dianggap sangat menguntungkan pihak Belanda.
Untuk lebih melemahkan posisi para pejuang Aceh, banyak sekali upaya yang dilakukan Belanda agar para uleebalang mau bekerjasama dan tunduk pada kemauannya. Mereka diberi sejumlah uang (sumbangan) dan barang-barang keperluan hidup, yang kesemuanya diambil dari anggaran belanja pemerintah Hindia Belanda.
Sedangkan kepada mereka yang tidak mau bekerjasama, Belanda menawan serta menjadikan mereka pekerja paksa. Dan yang lebih tragis lagi membuang mereka jauh-jauh keluar dari wilayah Kerajaan Aceh. Hal inilah yang dialami Ali, Amir maupun Usup. Takdir dan kehendak ALLAH SWT rupanya membawa mereka ke wilayah Kerajaan Banjar yang juga tengah bergolak oleh api peperangan menghadapi musuh yang sama; 'kaphee' Belanda.
Fanatisme keagamaan dan semangat perlawanan rakyat Kerajaan Banjar di wilayah Tanah Dusun dan Tanah-tanah Dayak bangkit lagi. Ditambah dengan bergabungnya para veteran pejuang Aceh, yang ternyata tetap tangguh sekalipun mereka berada di tempat pembuangan.
Hubungan Banjar dengan Aceh sebenarnya telah dirintis jauh sejak Abad ke-17. Pada masa itu agama Islam di Kerajaan Banjarmasin berkembang dengan pesat, dan di zaman itulah di negeri Banjar hidup seorang ulama tasauf terkenal bernama Syekh Ahmad Syamsuddin Al-Banjari.
Dalam masa hidupnya, beliau sempat menyusun sebuah kitab ilmu tasauf tentang asal kejadian Nur Muhammad, yang banyak mendapat pengaruh dari ajaran Ibnu Arabi. Kitab karangan ulama asal negeri Banjar --Syekh Ahmad Syamsuddin Al-Banjari-- ini kemudian dihadiahkan oleh beliau kepada penguasa Kerajaan Aceh di zaman itu, Sulthanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah Johan Berdaulat, yang memerintah di Kerajaan Aceh pada kurun waktu 1641 - 1675 M.
Sulthanah Tajul Alam ini tidak lain adalah puteri dari Sultan Iskandar Muda (1607 - 27 Desember 1636), atau isteri dari Sultan Iskandar Tani (Iskandar Thani Alauddin Mughayat Syah) yang memerintah Kerajaan Aceh sepeniggal mertuanya, sejak tahun 1636 - 15 Februari 1641.
Di masa sesudah kemerdekaan Republik Indonesia, ada seorang mursyid (guru) Tarikat Naqsabandiyah asal Aceh bernama Syekh Jalaluddin yang pernah menetap di wilayah bekas Kerajaan Banjar ini. Syekh Jalaluddin sempat mengajarkan ilmu tasauf kepada murid-murid beliau bertempat di sebuah langgar di daerah Alalak (termasuk dalam daerah administrasif kota Banjarmasin sekarang) bernama Langgar Tuha, yang bangunan aslinya sekarang sudah tak berbekas lagi, telah diganti dengan bangunan baru. Selain memberikan pengajian di daerah Alalak-Banjarmasin, Syekh Jalaluddin juga berdakwah sampai ke wilayah Nagara dan daerah Hulu Sungai, sehingga banyak lah beliau mempunyai murid-murid disana.
Kentalnya hubungan antara Banjar dengan Aceh ini sempat membuat seorang sarjana-ulama terkenal sekelas Prof. Dr. HAMKA tergelitik hatinya untuk berkomentar. Menurut beliau; bahasa yang dipakai oleh orang-orang Banjar sejak semula, lama sebelum Kerajaan Islam Banjarmasin berdiri adalah bahasa Melayu.
Gelar Pangeran Samudera? Raja Kerajaan Banjarmasin sebelum memeluk agama Islam itu, tidakkah kita melihat hubungan nama itu dengan negeri (kerajaan) Samudera di Aceh, disamping Pasai?
Orang Banjar menyebut dirinya 'ulun'. Sedangkan orang Aceh menyebut dirinya 'ulun-tuan' untuk penyebutan kata 'saya' dalam bahasa Indonesia. Kata-kata 'ungkai' ketika orang meembuka (baju) sesuatu, kata-kata 'ungkai' ini terpakai dengan arti yang sama di wilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti di Minangkabau dan Semenanjung Tanah Melayu (utamanya di Malaka). Banyak sekali kata-kata dalam bahasa Banjar yang serupa pemakaiannya dengan bahasa-bahasa di negeri-negeri Melayu yang lain.
Rasa kedekatan dan persamaan-persamaan inikah yang membuat pejuang-pejuang Aceh seperti Panglima Ali, Panglima Amir, Panglima Usup ataupun orang-orang Aceh lainnya yang tidak sempat dicatat oleh sejarah, sehingga rela bersimbah darah membantu perjuangan para pewaris Pemerintahan Pegustian, penerus Kerajaan Banjar? Wallahualam .
Daftar Pustaka
- Dennis Lombard, "Kerajaan Aceh", Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
- Prof. Dr. HAMKA, "Meninjau Masuknya Islam ke Kalimantan Selatan", Banjarmasin: Panitia
Pembangunan Gedung Sekolah Menengah Puteri Muhammadiyah, 1982.
- Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan, "Urang Banjar dan Kebudayaannya", Banjarmasin: Bada
Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, 2005.
- Helius Sjamsuddin, "Pegustian dan Temenggung", Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
- Paul van't Veer, "Perang Aceh", Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985.
- Dr. C.Snouck Hurgronye, "De Atjehers", Jakarta: INIS, 1996.
- T. Ibrahim Alfian, "Perang di Jalan ALLAH", Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1987.
- Wawancara dengan Guru Alalak di Banjarmasin tentang sosok Ulama asal Aceh di Banjarmasin.
3 komentar:
tulisan anda menambah wawasan kebangsaan, semoga lebih dalam lagi menggali nilai2 sejarah
Assalamualaikum wr wb
Terima kasih,tapi mohon maaf yang sebesar-besarnya,karena tulisan ini belum sepenuhnya selesai disebabkan oleh kendala waktu untuk menulis dan dukungan lain yang belum memadai. Begitu juga daftar pustaka/buku referensi dari mana ide untuk menulis artikel ini belum saya muat.Wassalam
Posting Komentar